"Hanya dirinya yang mampu menahan. Segala bentuk lara yang abadi."
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️Sebuah buku biru tua usang terbuang kasar. Tangan ringkih yang terus mencari sesuatu. Hingga sebuah tabung obat kecil menggelinding keluar. Netra pemuda itu menangkap apa yang ia cari. Cepat merangkak mencoba menggapai benda itu.
Semua terkejut. Disana pemuda itu masih menyimpan obatnya. Bastian tak habis pikir. Sebanyak apa yang Raga miliki. Bahkan ia tak pernah berfikir ada benda itu disana.
Sebelum tangan ringkih itu menggapai. Sebuah tangan menahan nya lembut. Menariknya cepat. Ia peluk begitu erat. Tak peduli raungan kembali.
Tobi segera mengambil buku yang Raga lempar. Ia curiga itu yang mereka cari. Lalu mulai melihat kebawah lemari. Apakah ada hal lain.
Disisi lain Bastian membawa pemuda itu ke balkon. Malam yang dingin. Dari lantai rumah sakit yang cukup tinggi. Udara begitu menusuk kulit.
Ia pangku Raga. Lalu mencekal kedua tangannya. Memeluknya dari belakang erat. Merasakan pemberontakan pemuda itu.
"Kamu takut apa Dek? Bilang sama Abang? Sakit ya?" Ujarnya lembut ditelinga pemuda itu. Walau tak ada jawaban ia biarkan. Hanya amukan yang ia dapat.
"Abang udah pernah bilang. Kamu boleh marah, bahkan nangis sepuasnya. Tapi jangan nyakitin diri sendiri. Kamu sendiri yang bilang. Nangis itu apa? Kenapa harus nangis?."
"Adek kuat. Adek pintar, anak Bunda sayang." Kalimat ini. Ia dapat dari buku diary Bunda Raga. Kalimat yang selalu digunakan kala Raga begitu jatuh. Juga kala anak itu begitu pandai melakukan apapun.
Dan kalimat itu yang membuat Raga tenang seketika. Hanya terdengar tangis. Tubuhnya sudah tidak memberontak.
"Mau Bunda.." lirihnya.
"Bunda ada diatas sana. Lihat?" Ia tunjuk langit malam yang gelap, mendung. "Bunda lihat adek dari sana. Dan bunda pasti sedih. Adek anak kuat, pintar. Mau bunda sedih?"
Ia rasakan kepala yang bersandar di dadanya menggeleng. Di angkat tangan kanan pemuda itu tinggi. Digenggam begitu erat.
"Bunda selalu ada. Disana, dan disini." Dituntun tangan pemuda itu. Menyentuh tepat di dadanya. "Adek bisa lupa gimana wajah bunda. Gimana pesan bunda buat adek. Tapi adek nggak akan lupa. Ada bunda disini. Selalu."
"Abang ingat. Bunda paling nggak suka kalau anaknya nggak mau nurut. Mudah menyerah. Tau kan kenapa Abang Galen bisa sekuat sekarang? Pernah liat Abang Galen ngeluh? Adek pernah lihat?"
Ia menunduk. Melihat raut wajah pemuda itu. Hanya pandangan kosong tanpa sebuah jawaban.
"Enggak pernah kan? Siapa yang bilang dulu mau terus sama abang Galen? Yang mau lihat Abang Galen bahagia. Yang mau dipeluk Abang Galen?"
"Kemana Adek yang Abang Bas kenal? Adek yang kuat. Adek yang selalu pantang menyerah?"
Walau jelas Bastian ingat. Kala ia tau sakitnya Raga. Pemuda itu sudah mengatakan. Ia tak akan bisa. Mungkin tak akan bisa. Sampai sejauh ini. Bahkan hingga kedatangan Saga. Pelukan seorang Abang yang ia inginkan. Walau bukan dari orang yang sangat ia rindukan.
Jiwanya.
**
"Apa Lo nggak ada penyesalan apapun?"
Sorot mata yang tenang. Menatap bagai air tanpa gelombang. Namun jauh didalam begitu menghanyutkan. "Kenapa?"
"Gua harap Lo mau berubah." Si mata tajam hanya melirik kecil. Kembali melihat kegelapan hampa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kathréftis || End✓
Mystery / ThrillerManik sehitam malam yang begitu menyimpan. Bibir semerah Cherry yang enggan sekali terbuka. Rupa menawan, tetapi penuh luka. . . "Raga cuma mau Abang." Inilah dirinya. Sosok yang tidak pernah tau bagaimana rupanya. Tak peduli apa kata orang. Ini ada...