"Seburuk dan semengerikan rumah itu. Tetaplah istana sang Pangeran."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️Sore menjelang malam. Pemuda dengan kulit pucat itu memasuki mansion keluarga Stanley. Ia melangkah dengan begitu pelan. Nampak sekali tidak nyaman. Apalagi tatapan yang diberikan para pelayan dan bodyguard.
Pandangannya tertuju pada lantai. Memegang erat ranselnya. Mengabaikan orang-orang yang melihatnya. Huh, ia benar-benar tak nyaman.
"Kenapa terlambat?"
Ia berhenti diruang keluarga. Tidak menjawab pertanyaan lelaki dengan jas putih itu. Terus menunduk, enggan bersuara pula.
Bastian sudah menunggu sejak tadi. Ia tak tau kemana Raga pergi hingga sore baru pulang.
Pemuda itu diam, meremas ujung seragamnya yang sudah keluar dengan erat. Surainya sudah acak-acakan. Bahkan penampilannya mirip sekali preman. Entah apa yang terjadi dengan dirinya.
Nyata Bastian tak tau. Ia menyembunyikan luka diwajahnya.
"Katakan Raga. Mengapa pulang terlambat? Atau perlu Abang menyuruh salah satu bodyguard mengikuti mu terus?"
Raga menggeleng kecil. Masih enggan menatap. Namun ia memiliki satu pikiran.
'Brukk
Melempar ranselnya pada Bastian. Lelaki itu jelas terkejut. Namun kala ingin bersuara, Raga lebih dulu berlari. Ia ingin mengejar tetapi tidak jadi.
"Maaf Tuan."
Maniknya menatap dingin. Mendengarkan penjelasan anak buahnya. Setelahnya naik menyusul Raga. Diikuti satu maid membawa nampak berisi makanan dan obat.
"Raga, buka pintunya!"
Beberapa saat. Tidak ada jawaban. Ia mencoba membuka, tetapi dikunci. Namun ia jelas tidak bodoh. Mengambil kunci cadangan. Membukanya begitu saja.
Kamar dengan nuansa coklat kayu. Kamar khusus untuk Raga. Terhindar dari benda yang bisa melukainya. Sama seperti kamar pemuda itu dirumah. Hanya saja bernuansa putih.
Semua benda terbuat dari kayu. Bahkan lemari pun tanpa kaca.
Pemuda itu tidak ada dalam pandangannya. Namun ia mendengar gemricik air dari toilet. Cepat ia meminta maid itu meletakkan yang ia bawa pada meja. Setelahnya meminta pergi dan menutup pintu.
Ia duduk dikursi belajar dengan kaki saling menopang. Menunggu dengan tenang. Menatap lamat pintu kamar mandi. Jarinya mengetuk meja belajar perdetik. Sorot matanya menatap tajam pintu toilet.
Tak lama pintu terbuka. Raga keluar dengan piyama biru muda bergambar Doraemon didada kiri. Ia terkejut dengan keberadaan Bastian. Cepat menunduk dan berjalan kearah lain. Tak ingin mendekatinya.
Bastian menatap datar. Melihat tingkah Raga yang begitu lucu sebenarnya. Seolah sibuk padahal hanya tengah melihat isi lemari.
"Ragama Damarjaya." Suara berat terkesan menekan. Tubuh Raga menegang ditempat. Tak berani bergerak sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kathréftis || End✓
Mystery / ThrillerManik sehitam malam yang begitu menyimpan. Bibir semerah Cherry yang enggan sekali terbuka. Rupa menawan, tetapi penuh luka. . . "Raga cuma mau Abang." Inilah dirinya. Sosok yang tidak pernah tau bagaimana rupanya. Tak peduli apa kata orang. Ini ada...