Bab 41

868 87 3
                                    

Happy reading..

Sudah beberapa hari Dimas tampak kalut memikirkan hidupnya. Ditambah dengan pertengkarannya dengan Valerie makin membuatnya diliputi perasaan yang tidak nyaman.

Dimas bahkan sampai mengabaikan beberapa meeting penting dengan para investor perusahaannya karena merasa tidak dalam kondisi mood yang baik.

Dirga yang mengetahui hal itu bersusah payah mencoba menggantikan Dimas dibeberapa meeting yang sekiranya bisa ia tangani. Dimas memang sudah seringkali mengajari Dirga untuk mengatur perusahaan, berjaga-jaga jika ia sedang tidak bisa hadir dan berharap bisa digantikan Dirga dengan baik.

Seperti di hari ini, Dirga baru saja keluar dari ruangan meeting dengan para anggota divisi keuangan. Sudah dua hari Dimas pergi entah kemana dan tidak bisa dihubungi sama sekali. Dirga harus sampai memutar otak menangani semua pekerjaan yang ditinggalkan oleh Dimas begitu saja.

"Mbak Andin, kerjaan papah Dirga bawa pulang ya? Dirga ada kelas siang ini. Laporannya biar Dirga cek nanti sepulang dari kampus" Andin, sekertaris Dimas memandang prihatin putra bosnya yang terlihat kelelahan. 

Diumur yang masih sangat muda, Dirga sudah menanggung beban yang begitu berat seperti ini karena kelakuan papanya yang sekarang begitu tidak disiplin. Bahkan Andin bertambah simpati pada Dirga karena tau istri dari bosnya itu juga sangat egois dan tidak begitu memperhatikan Dirga.

"Tidak usah dibawa semua, nanti biar mbak Andin bantu periksa ga. Kamu pentingin kuliah aja dulu. Jangan sampai kuliah kamu terbengkalai. Nanti kalau ada yang gak paham jangan sungkan nanya ke saya ya, saya ngerti kamu pasti kesusahan"

Dirga menyetujui usul Andin karena memang dirinya tidak akan sanggup memeriksa laporan yang menumpuk itu sendirian. Dirga bersyukur, masih ada Andin yang mau peduli dan membantunya kali ini.

Setelah membawa beberapa berkas penting, Dirga bergegas menuju kampusnya karena waktu yang sudah sangat mepet dengan jadwal kelasnya siang itu.

=

Siang hari yang terik ditambah dengan pepohonan yang tidak begitu banyak menambah hawa panas makin menyengat di kulit siapapun yang terpapar sinar mentari secara langsung.

Bagi kebanyakan orang, dikondisi seperti ini pasti mereka memilih berteduh ditempat yang rindang juga sejuk. Tapi lain halnya dengan Dimas, sejak pagi hari lelaki paruh baya itu sudah terduduk disamping dua buah makam.

Dimas seperti raga tanpa jiwa, ia duduk disana memandang dua batu nisan yang mulai termakan waktu. Dimas sesekali mengusap kedua batu nisan itu dengan sayang. Seakan-akan seperti sedang mengusap-usap kepala seorang anak dipangkuannya.

Dimas mengusap air matanya yang kembali menetes, entah sudah berapa kali ia menangis hari ini. Seakan tidak peduli pada citranya yang terbiasa terlihat angkuh. Dihadapan kedua makam itu Dimas menjatuhkan segala kesombongan dan juga harga dirinya.

Dimas kembali memutar memori kala itu, dimana ia yang pertama kali menimang bayi perempuan yang masih merah itu dengan penuh rasa haru. Tatapan polos dan genggaman tangan mungilnya di jari tangannya masih Dimas ingat dengan jelas.

Semua kenangan itu terus berlanjut sampai saat itu kala ia yang mengajari kedua putrinya yang akan belajar berjalan. Papahan tangannya yang menopang tubuh mungil seorang balita, dan sorakan kegembiraan saat balita itu akhirnya bisa melangkah dengan tertatih-tatih menghampirinya.

Dimas tertawa disela tangisannya yang pilu. Momen-momen berharga dimana ia begitu dibutuhkan oleh kedua sosok putri kecilnya. Dimana saat itu ia menjanjikan sebuah istana yang begitu indah dan megah untuknya tinggal bersama kedua putri kecil kesayangannya.

Forgiven (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang