Happy reading..
Suasana didepan ruang IGD itu begitu mencekam, berbagai ekspresi kegelisahan tergambar dengan jelas disetiap masing-masing orang yang ada disana. Arya berdiri dengan pandangan kosong disamping pintu masuk IGD, Anisa yang sedang menangis tampak sedang ditenangkan oleh Erisa ibunya Jendra. Sedangkan Naya kini sedang membawa Kara dan Kari ke kantin rumah sakit dan akan menunggu kabar selanjutnya disana.
Jarum jam terus berdetak mengganti detik menjadi menit. Tetapi belum ada dokter yang keluar untuk memberitahu mereka bagaimana keadaan Karin didalam sana. Setelah mendapatkan kabar dari Naya yang sedang menuju kerumah sakit, semua orang yang sudah lebih dulu pergi ke restoran bergegas menyusul Naya dan Ibram.
“Lain kali jika saya tidak izinkan Karin melakukan sesuatu jangan halangi saya Nis” Anisa mendongak dan memandang nanar sang suami yang kini menatapnya dingin. Anisa kian menangis merutuki kesalahannya yang membujuk sang suami untuk mengizinkan Karin menemui Dimas.
Anisa hanya ingin memberikan kesempatan pada Karin, ia ingin Karin meluapkan semua yang mengganjal dihatinya pada Dimas. Tetapi siapa yang menyangka jika hal ini akan terjadi. Anisa melupakan fakta jika Karin masih belum bisa berdamai dengan masa lalunya, dan itu kian membuatnya dilanda penyesalan yang amat sangat dalam.
“Keluarga Pasien Karin” Semua orang yang sedang menunggu dengan gelisah sontak menegakkan tubuh dan berjalan menghampiri dokter yang baru saja keluar dari dalam IGD.
“Saya orang tuanya dok, bagaimana kondisi putri saya”
“Bisa ikut saya keruangan? Saya perlu bicara dengan kedua orang tuanya. Mari” Arya dan Anisa sontak mengikuti dokter menuju sebuah ruangan praktik. Sementara Ibram, Jendra dan kedua orang tuanya kembali menunggu dikursi depan IGD.
Setelah mempersilahkan Arya dan Anisa duduk, Dokter Ilham sebagaimana tertulis dipapan nama mulai menjelaskan kondisi Karin pada mereka.
“Sebelumnya saya ingin bertanya, apa Karin sering mengalami hal seperti tadi?” Arya sontak menggeleng ragu menjawab pertanyaan sang Dokter.
“Begini dok, sebenarnya kami bukan orang tua kandung Karin. Kami om dan tantenya yang sudah merawat dia sejak masih kecil”
“Jadi dimana orang tuanya? Saya butuh membicarakan hal ini pada mereka” Anisa memandang Arya ragu dan bingung. Baru saja ia mau menjawab sang dokter, Arya sudah lebih dulu berbicara.
“Orang tuanya sudah meninggal, dan karena itu Karin sempat mengalami depresi saat masih kecil dok” Dokter Ilham mengangguk kemudian membuka hasil pemeriksaan Karin dan juga riwayat medis di rumah sakit tersebut yang sudah diberikan oleh suster.
“Jadi begini pak bu. Setelah saya melakukan pemeriksaan dan juga melihat riwayat medis dari pasien, sepertinya gejala trauma dan depresi yang dulu dialami pasien muncul lagi beberapa waktu ini. Dan dari informasi yang saya dapat tadi, pasien sempat mengalami panik dan juga kecemasan berlebih sebelum akhirnya jatuh pingsan”
“Trauma yang terjadi pada masa kecil memang tidak bisa dianggap sepele begitu saja, apalagi jika trauma itu dipicu oleh kejadian tragis yang pernah disaksikan atau dialaminya sendiri saat masih anak-anak. Sebelumnya boleh saya tahu apa penyebab kematian kedua orang tua pasien?”
Arya dan Anisa tidak langsung menjawab pertanyaan dokter, setelah saling memandang dan Anisa yang menundukan kepala tidak ingin salah langkah lagi, akhirnya Arya menghela nafas dan memberitahukan semuanya pada dokter.
“Ibu dan adiknya meninggal karena bunuh diri, Karin yang menemukan jasad mereka dok. Karena itu Karin sampai depresi saat kecil” Ekspresi terkejut sempat tergambar diwajah sang dokter sebelum akhirnya menormalkan kembali ekspresinya demi menjaga kesopanan didepan orang tua pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgiven (End)
General FictionKarin begitu ia disapa, sekilas semua orang melihat kesempurnaan di hidupnya. Cantik, pintar dan dikelilingi dengan anggota keluarga yang begitu harmonis dan saling mengasihi. Tetapi, dibalik semua kesempurnaan itu ia hanya seorang gadis yang kesepi...