Aiko menatap kamar Liam yang di dominasi oleh warna biru langit serta putih, ia terduduk di ujung ranjang sembari menunggu Liam yang sedang berganti pakaian. Setelah meminta maaf kepada orangtuanya Liam, karena tidak ada ketika pria kecil itu sedang sakit hatinya merasa lebih tenang. Meski ia tetap merasakan sesuatu, seperti dikejar tapi ia tidak tahu apa, ia tenang tapi tidak sepenuhnya.
"Haaa..." Gadis itu mengeluarkan nafasnya kencang, membuat Liam yang baru saja keluar dari kamar mandi memandang gadis itu heran.
"Aiko ada apa?" Tanya Liam duduk di samping Aiko, menatap gadis itu dengan mata bulatnya.
Aiko, gadis itu mengeraskan rahangnya menahan gejolak yang membuatnya ingin mengurung Liam hanya untuk dirinya. Sungguh, ia tidak tahu kenapa Liam semakin menggemaskan.
"Aiko?" Panggil Liam kembali, ketika ia tidak mendapatkan respon dari gadis itu.
"Ah iya, aku tidak apa-apa hanya saja aku merasa aneh karena baru masuk kedalam kamar mu," jawab Aiko tidak sepenuhnya berbohong, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.
Liam mengangguk namun matanya menatap tajam sarung tangan panjang yang melilit di kedua tangan gadis itu. Ia baru sadar, jika sedari pagi Aiko memakai sarung tangan tidak seperti biasanya, ia merasa curiga.
"Aiko aku tidak suka jika Aiko menyembunyikan sesuatu dariku," ucap Liam tiba tiba membuat Aiko sedikit merinding mendengarnya.
"Apa? Aku tidak menyembunyikan—" ucapannya terhenti ketika Liam dengan gesit menarik salah satu sarung tangannya, dan sialnya pria itu menarik sarung tangan yang menyembunyikan bekas luka sayatan waktu itu.
Mereka berdua terdiam, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun, hanya suara jarum jam yang terdengar. Aiko merasa tidak nyaman dengan suasananya.
"Liam—" ucapan gadis itu terpotong kembali, karena keterkejutannya oleh gerakan tiba tiba Liam.
Pria itu berlari! Mengobrak-abrik laci yang ada di kamarnya, sampai ia menemukan sesuatu. Ia berjalan dengan cepat kali ini, sembari membawa botol alkohol dengan obat merah serta kapas dan kain kasa.
Pria kecil itu menangis, tidak ada suara hanya ada air mata yang keluar dari mata sembabnya. Dengan cepat ia duduk dihadapan Aiko, menatap luka yang sudah kering itu bingung ingin berbuat sesuatu, ia sulit berpikir jika sedang panik.
Aiko menatap Liam, hatinya menghangat.
"Liam," panggilnya pelan.
"Lukanya sudah kering, jadi kau tidak perlu khawatir. Dan jangan menangis lagi kumohon," lanjut Aiko sembari menghapus jejak-jejak air mata di wajah kekasihnya itu, ia menarik Liam dalam pelukannya.
"Tapi Aiko terluka, aku takut," kata Liam di tengah tangisannya, membuat Aiko tersenyum senang karena pria itu mengkhawatirkannya. Tapi, ia terkejut ketika mendengar ringisan yang keluar dari mulut kekasihnya.
"Ada apa?" Tanya Aiko khawatir.
"Luka di punggungku belum sepenuhnya sembuh, jadi masih sedikit terasa apalagi aku baru saja mengganti perbannya," jawab Liam, membuat Aiko menggeleng.
Ia lupa jika kekasihnya juga terluka, seharusnya ia tidak sembarang memeluk pria itu. Ah, kalau begitu bagaimana dengan pelukan di rooftop sekolah apa pria itu merasa sakit juga.
"Saat di rooftop aku tidak merasakannya karena aku sibuk kesal dengan Aiko," terang Liam tiba-tiba seperti tahu apa yang ada dipikiran gadis itu.
"Baguslah," ucap Aiko sembari mengusap lembut punggung kekasihnya, membuat Liam menyandarkan kepalanya di dada Aiko.
Cukup lama posisi itu terjadi, sampai Liam berdiri dengan tiba-tiba dan mengambil buku komik dengan wajah cerahnya.
"Seminggu yang lalu aku beli ini, komik keluaran terbaru. Aku belum membacanya dan sekarang aku ingin, tapi tak apa'kan jika aku membacanya sambil duduk dipangkuan Aiko?" Ujar Liam sembari memperlihatkan wajah berharapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Boy
Teen Fiction[Warning 17+] Aiko itu gadis yang dominan bahkan di hubungannya pun ia menjadi pihak yang dominan. Dia bukan gadis yang suka dimanja tapi ia yang memanjakan pasangannya, ia lebih suka melihat pasangan frustasi dalam pelukannya dan itu yang dirasakan...