Part 1

11.1K 580 69
                                    

"Ai, buruan datang ke rumah, bantuin cari singlet. Dari tadi nggak ketemu."

Irene memijat pelipis seraya bersandar di kepala ranjang. Selalu seperti ini setiap pagi.

"Ai!"

Namanya Saddam Fernandez. Pria dewasa yang kerap Irene pertanyakan ketepatan usianya. Bukan bermaksud apa-apa, Irene kadang heran saja melihat tingkah lakunya. Katanya, sih, manusia satu ini sudah kepala tiga. Tapi mengapa kadangkala terlihat seperti anak TK?

Berbanding terbalik dengan tingkahnya yang bak balita, lain lagi ingatannya bagai seseorang sudah mengalami pahit, pedas, asam kecut segala macam rasa kehidupan. Sehingga mudah terserang penyakit bernama 'pikun'. Bagaimana Irene tak berpikir demikian? Urusan singlet saja dia lupa di mana menaruhnya.

Bahkan Irene ingat bahwa sebelum-sebelumnya… bos sempat pula menelpon di tengah malam untuk menanyakan di mana sempaknya berada, karena Saddam yakin sekali; Irene mengisenginya dengan menyembunyikan segala pakaian dalam yang mahal-mahal itu.

"Sengaja, kan, mau jual barang branded saya? Ngaku!"

Irene jelas saja mengamuk mendengar tuduhan saat itu.

Maksud Irene… apakah Irene terlihat seperti perempuan cabul yang senang menyembunyikan pakaian dalam pria? Apa-apaan pula Pak Sad—begitu cara Irene memanggilnya—malah bertanya mengenai urusan pribadi itu? Memang benar Irene ini asisten pribadi yang mana juga mengurusi tetek-bengek pria itu hingga ke akar-akarnya. Tapi tidak mungkin, kan, sampai mengusik ranah privasinya? Irene, kan, tahu batasan.

"Ai, gimana ini? Masa saya nggak pakai singlet? Eh, tapi kayaknya enggak pa-pa juga, ya. Biar dada saya keliatan gitu, kan."

"Astaghfirullah, Bapak…." Irene menggeram. Matanya bahkan masih setengah terpejam begitu suara di seberang sana terdengar lagi.

"Ai, udah ketemu. Ternyata di dalam laci lemari. Dasar Atiek… pasti dia mindahin semuanya tanpa persetujuan saya. Oh, ya, nanti sebelum ke kantor, kamu mampir dulu ke rumah saya. Kalau bisa, sebelum jam tujuh udah di sini. Terima kasih, Ai."

Irene sampai geleng-geleng kepala menatap ponsel yang panggilannya sudah dimatikan sepihak dari seberang.

"Mana mungkin, sih, Atiek yang punya ulah? Udah jelas dia sendiri yang sering gabut bongkar-pasang isi lemari."

Saddam itu punya kebiasaan yang aneh. Kalau sedang stress dan banyak pikiran, dia akan mengalihkan segala penatnya dengan cara beberes rumah. Atiek sang 'ART tidak tetap' yang kadang sudah repot-repot menyapu dan mengepel saja harus banyak-banyak mengelus dada karena pekerjaannya akan sia-sia.

"Mbak Ririn, kadang saya bersyukur gitu punya bos modelan Pak Saddam, tiap hari bikin saya banyak istighfar." Itu ucapan Atiek yang pernah Irene dengar. Katanya: bersama Pak Sad, membuat dia merasa lebih dekat dengan Tuhan.

Mau tahu seberapa aneh Pak Sad kalau sedang gabut?

Itu seperti… sengaja mengeluarkan isi lemari dan menyusun ulang, atau sekedar mengotori lantai yang sebenarnya kinclong tanpa noda, kemudian dibersihkan lagi dengan penuh sukacita.

Kalau kata Irene, sih; seperti ada gila-gilanya.

Manusia mana, sih, yang mau mengerjakan pekerjaan rumah dua kali? Iya kalau hasil bersih-bersihnya jauh lebih suci mengkilap bak disiram hidayah Tuhan. Masalahnya… bukannya tambah bersih, yang ada rumah bosnya makin acak-acakan.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang