Entah kenapa, dua jam ini menjadi terasa sangat lama. Saddam gelisah di tempat duduknya. Pesawat mereka sudah lepas landas sedari tadi, namun dirinya masih merasa gusar. Irene di sampingnya sampai memberinya earmuff. Mungkin perempuan itu mengira ia terganggu akibat suara bising pesawat saat take-off. Irene bahkan dengan lembut mengatakan, "Lupakan sejenak apa pun yang jadi beban pikiran bapak sekarang. Semua akan baik-baik saja."
Saddam hanya bisa tersenyum dan berterimakasih. Ingin sekali dia menyahut; semua tidak akan pernah baik-baik saja setelah ini, Ai. Andai perempuan itu tahu, bahwa dirinyalah yang menjadi pikiran Saddam saat ini. Irene yang sebentar lagi akan kembali menginjak tanah Jakarta dan tentunya semakin dekat dengan kabar itu. Saddam tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh Chelsea akibat dirinya tidak hadir di Harmoni kemarin. Pikirannya terbang jauh, pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini.
Saking sibuknya dengan pikiran itu, Saddam sampai tidak menyadari mereka saat ini sudah berada di mobil. Hanung, salah satu sopirnya menjemput. Irene memejamkan mata di sampingnya, sementara Riyan entah ke mana.
"Riyan pulang sendiri, Pak," ucap Irene seolah tahu kebingungan Saddam saat ini. Perempuan itu lalu memperbaiki posisi duduk.
Saddam mengangguk paham.
Riyan sempat diajak Irene untuk satu mobil saja, biar nanti diantar sama Hanung. Tapi, laki-laki itu dengan segera menolak. Jelas sebagai seorang saksi yang kerap kali melihat atasannya berdebat, perang dingin, atau tak jarang terlihat seperti pasangan, membuat Riyan merasa tekanan batin untuk terus berada di dekat mereka. Riyan ingin bernapas dengan leluasa. Itulah mengapa, di dalam taksi yang dia naiki, laki-laki berusia dua puluh empat tahun itu terlihat menguap lebar menikmati sisa waktu luangnya.
"Terima kasih, Pak. Hati-hati." Irene telah sampai di depan pagar.
Sebelum benar-benar pergi, Saddam sempat melihat ke luar jendela. "Ai?"
"Iya, Pak?"
"Besok ataupun nanti, kalau sesuatu yang tidak kamu sangka tiba-tiba datang menghampiri, kamu boleh kecewa, tapi, tolong jangan merasa benci."
"Benci? Untuk alasan apa?"
Saddam menggeleng. "Siapkan jawaban kamu, setelah kamu tahu sesuatu. Saya menunggu." Sedan itupun perlahan menjauh dari pandangan, meninggalkan Irene yang diam seribu bahasa.
Memasuki rumah, menghidupkan saklar lampu, dan berjalan menuju kamar. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam sekarang. Hari ini, setelah selesai menikmati suasana resort di Kawasan Mandeh, mereka sempat mengunjungi pabrik terlebih dahulu. Rupanya kebakaran kemarin terjadi karena adanya konsleting listrik. Adanya karung-karung berisikan gandum membuat api cepat sekali menyebar. Hampir separuh bahan produksi ludes dilahap api. Untuk para karyawan yang kena imbas kebakaran itu, untungnya saat ini sudah membaik. Saddam memberikan mereka pelayanan di rumah sakit terbaik. Memastikan karyawannya tetap sehat dan tetap bekerja adalah tujuan dari laki-laki itu.
Setelah membersihkan diri, Irene duduk di ujung ranjang. Pikirannya berkecamuk. Apa maksud ucapan Pak Bos?
Irene menggeleng pelan, lalu meraih ponsel dan memeriksa pesan. Tentu sebagian besar datangnya dari kantor, dari grup, dari klien SF, dan salah tiganya dari Papa, Diandra dan Susi.
Dari Papa hanya mengatakan bahwa kepulangannya ke Indonesia yang semestinya lima hari lagi, akan diundur hingga lima belas hari ke depan. Yurina belum dapat jadwal cuti di kampus. Mama Tirinya itu seorang dosen untuk jurusan psikologi.
Kalau Diandra, sih, Irene sudah dapat menebak. Isi pesannya pasti tidak jauh dari curhatan pekerjaan barunya dengan Pak Joseph.
Mau modar gue. Mantannya udah aman semua, sekarang pacar barunya yang bikin ulah. Capek gue reservasi kamar hotel buat dua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...