Part 32

3.6K 288 36
                                    

"Aku gak tau mama akan pergi secepat ini."

Tepat saat cahaya sang surya mulai muncul di kejauhan, kedua anak manusia ini terdiam merenung di bibir pantai. Saddam membawa Chelsea ke sini setelah menjenguk keadaan ibu dari perempuan itu. Begitu tiba di rumah sakit Bogor, Chelsea langsung dihadapkan dengan pernyataan bahwa sang ibu sudah tiada.

Sepuluh menit berlalu dalam hening, hanyalah suara deburan ombak dan siuran angin sebelum akhirnya Chelsea memutus itu semua dengan sederet kalimat bernada pilu.

"Semangat." Saddam tak tahu harus bereaksi bagaimana. Dia hanya tak enak apabila membiarkan perempuan itu larut dalam kesedihan.

Chelsea menoleh seiring rambutnya berkibar dipermainkan angin. "Buat apa nyemangatin beban kayak aku, Dam? Aku malu sama kamu. Aku akhir-akhir ini banyak bergantung sama kamu. Maaf, ya."

Saddam diam. Ia tidak pernah mempersalahkan perempuan itu memintai tolong. Sebab, jauh di dalam dirinya, rasa was-was tentang janin yang ada di kandungan Chelsea membuatnya begitu takut. Ia pikir, dengan membantu perempuan itu, ia akan merasa lebih baik, walau nyatanya ia tak kunjung merasa baik.

"It's okay, gue ngebantu karena gue bisa bantu, Kak. Kalo boleh tau, lo emang sebelumnya gak kerja?" Saddam tidak pernah menanyakan itu sebelumnya, dan kini ia merasa sangat penasaran.

"Aku freelance. Kadang aku kerja sebagai MC untuk suatu acara, kadang aku menerjemahkan artikel atau film luar gitu, dulu aku pernah jadi auditor juga di salah satu perusahaan konstruksi. Tapi, sekarang job aku yang di sana udah gak bisa aku pegang lagi."

Saddam kini mengerti.

"Ya, begitulah aku, kerjanya ala kadarnya, bayaran yang aku dapat dari menerjemahkan film, artikel atau apa pun itu yang bisa aku terjemahkan gak lebih dari sekadar cukup untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Penghasilan tambahan, ya dari endorse, tetapi semenjak pemberitaan itu, aku udah kehilangan kontrak, pengikut aku perlahan pergi, semuanya hilang, aku hancur…."

"Lo gak hancur, Kak, lo masih di sini."

"Nyatanya aku hancur, Dam. Masa depanku udah punah. Semua rencana hidupku sirna semenjak kehadiran dia." Chelsea menyentuh perutnya.

"Kamu tau, Dam? Aku adalah orang paling menyedihkan yang punya duit hasil dari jual tampang. Di sosial media mereka memuji kecantikan aku, mereka bayar mahal untuk setiap produk wajah yang aku promosikan."

Saddam diam mendengarkan meski matanya terpejam kantuk. Ia lupa apakah sudah tidur kemarin? Rasanya belum, karena saat sampai di rumah sakit dan menunggu, pikirannya selalu dirasuki oleh bayang-bayang Irene. Ia semakin merasa jauh dari perempuan itu, bukan karena ia di Bogor dan Irene di Jakarta, bukan... ini terasa jauh karena apa yang ada di depan mata seolah sudah jadi pertanda kedepannya akan seperti apa.

Karena ...

Chelsea diminta menikah oleh sang Ibu, itu pesan terakhir beliau yang dititipkan pada ayahnya di saat Chelsea masih dalam perjalanan. Saddam jadi gundah. Dia... hilang arah. Rasanya sangat takut untuk menghadapi tes DNA yang rencananya akan dilaksanakan kurang dari seminggu lagi.

Selama merenung itu, ia lupa bahwa Chelsea masih bicara.

"Orang tuaku bergantung padaku. Papa semenjak kena PHK karena difitnah di tempat kerja sekarang kerja serabutan. Mama semenjak sakit udah gak bisa ngejahit, butik terbengkalai, aku gak ada bakat apa pun, bahkan untuk sekadar meneruskan bisnis Mama —peninggalan satu-satunya dari dia yang pergi— aku juga gak bisa. Seburuk itu keadaanku."

"Kamu punya keluarga, kan?" Saddam yakin bahwa sebuah keluarga akan saling membantu satu sama lain. Itu yang ia temui di keluarga besarnya sendiri, namun Saddam melupakan bahwa tak semua orang punya keluarga yang pengertian. Terlihat jelas pada Chelsea, perempuan ini tersenyum dengan tatapan nanar.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang