Part 26

4.2K 296 59
                                    


"Tak pernah meninggalkan cinta, katanya?" Irene setengah tak percaya dengan ucapan itu. Keluar dari mobil dan segera memasuki rumah.

Tangannya menyentuh gagang pintu suatu ruang.

Pintu kayu warna hitam yang telah lama tidak dibuka, sekarang berdecit pelan didorong perasaannya. Irene melangkah gontai. Menilik debu yang bertabur di antara buku-buku kusam di atas rak. Deretan buku lama bertemakan cinta yang dahulu sering Irene baca.

Langkah itu kembali maju, ke tempat yang lebih lapang. Di dinding yang masih terawat walau dihiasi sawang, terpajang foto-foto penuh kenangan. Irene tersentak diam. Bahunya bergetar. Inilah rahasia Irene. Inilah alasan dirinya bertahan di SF selama ini.

Pigura berisikan foto-foto yang diambilnya bersama seorang pria. Pria yang mengisi hatinya sejak lama. Pria yang mengusik pikirannya sejak dulu, jauh sebelum mereka kembali berjumpa.

Saddam Fernandez.

Irene telah lama menyukainya.

***

-Juli 2009

Irene berjalan lemah di trotoar. Hari yang melelahkan ia lewati saat ini. Langit mendung bagai menampilkan suasana hati yang kelabu. Jejak langkah berbalut sepatu putih itu terhenti di depan halte, lalu terduduk melepaskan penat di hati dan pikiran. Seragam sekolahnya tampak lecek, rambut pendeknya bahkan sudah lepek oleh keringat, beberapa helainya menutupi pandang. Irene terpejam, merasakan udara sejuk menyapu kulit. Rinai hujan perlahan turun. Awalnya santai seperti memberi gelitik, tau-tau luruh bagai menuang dendam.

Irene diam saja. Masih diam saat merasakan napas terengah dari orang di sampingnya. Ada seseorang, baru datang dengan keadaan basah. Duduk di sampingnya tanpa permisi dan menghembuskan napas berkali-kali.

"Yahhh, lebat banget."

Saat itulah, Irene menengok. Bersamaan dengan itu, sepasang mata coklat tengah menatapnya lembut. Irene merasa terhanyut. Dia seorang pria muda, dengan kaos hitam dan celana pendek warna senada, menjinjing tas berukuran sedang di atas pundaknya. Entah bagaimana tatapan itu pada akhirnya membuat Irene terpesona.

"Hai, anak sekolahan mana?" Pria itu menyapa.

"Siswi baru di Yudistira."

"Oh, masih MOS, ya?" Irene masih mengenakan seragam SMP, itu yang membuat pria di depannya bertanya. Sementara Yudistira yang disebutkan, adalah nama sekolah menengah atas.

Irene mengangguk.

"Ngomong-ngomong, aku alumni Yudistira lho."

"Oh ya?" Irene merasa tertarik. Hujan masih turun, itu membuatnya merasa tidak ada hal lain yang dapat dilakukan selain mengobrol dengan pria yang belum dikenal ini.

"Iya, aku dulu ketua OSIS."

"Hebat."

"Nama kamu siapa?"

"Airin."

"Aku Saddam. Boleh kamu panggil 'kak' karena jelas aku lebih tua." Dia terkekeh.

Irene ikut terkekeh.

"Gimana MOS yang kamu jalani? Seru?"

Irene menggeleng. "OSIS-nya gak asik."

"Kenapa gak asik?"

"Pada pilih kasih." Irene tersenyum. Saddam tahu ada luka yang disembunyikan di balik senyum itu.

"Kata orang, masalah apa pun itu akan lebih ringan kalau diceritakan. Aku berkenan untuk dengar kalau kamu mau cerita. Tenang, aku tipe orang yang akan jaga rahasia."

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang