Part 44

3.4K 282 34
                                    


Setelah berganti pakaian dengan pakaian kering, mereka memutuskan untuk makan di kafe yang tersedia di resort.

Saddam merungut akibat duduk sendirian, sebab Irene terpaksa duduk berjarak dua meja di depan sana bersama Wisnu. Jangan tanya kenapa mereka memisahkan diri, itu karena Wisnu meminta waktu agar bisa bicara empat mata dengan Irene.

"Kamu tahu aku mencintaimu, kan? Apa benar kamu malah menjalin hubungan dengan laki-laki lain?" Wisnu menatap Irene dengan tatapan sendu.

Irene menghembuskan napas, sudah ia duga akan seperti ini pertanyaannya, tak mau membuang-buang air liur untuk bicara, wanita ini mengangguk saja.

"Kenapa, Rin?" Ada raut tak percaya di wajah itu. "Apakah usahaku nggak berarti?"

Usaha? Irene bingung.

"Apakah semua pemberianku nggak pernah kamu lihat?"

Pemberian? Segala perhiasan itu? Apa pria ini mengharapkan Irene terpincut pesonanya bermodal hadiah-hadiah mewah yang diberi selama ini?

"Kalau aku nggak salah menyimpulkan, sepertinya hadiah yang kamu kirim ke ASA punya maksud terselubung, ya?" tebak Irene tepat sasaran, pria di depan sana langsung terhenyak, mungkin tersadar telah keceplosan membuka rahasia sendiri, berniat membuat Irene berlutut, malah menembak kaki sendiri.

Definisi bodoh bin tolol? Wisnu Kencana, jawabannya. Dia menggeleng cepat.

"Ah, bukan begitu, Rin. Maksudku, apa kamu nggak pernah mempertimbangkan perasaanku selama ini, selama kita sering bersama? Rasanya kita sudah sangat dekat, dan aku nggak menyangka tiba-tiba kamu berpaling."

"Kamu lupa kita terlibat kerjasama? Kalau nggak ada hubungan bisnis antara ASA Sparkle dan Jaya Sentosa Motorcars, kita nggak saling bersinggungan, Wisnu."

"Tapi kamu sendiri tahu bahwa aku mencintai kamu, Rin. Mungkin kamu menganggap kita selama ini hanya sebatas kerja, tapi bagiku nggak. Ini nggak hanya kerjasama untuk pekerjaan, Rin. Bagiku ini kerjasama yang sekaligus menghubungkan dua hati."

"Apa yang kamu sukai dari aku?"

"Kamu cantik, baik hati, dan keren."

"Cintamu palsu," sahut Irene yang berhasil membuat perubahan di raut wajah sang pria. "Kamu nggak bisa dibilang mencintai hanya karna aku cantik, perasaan semacam itu nggak akan bertahan lama, semua orang akan menua, aku pun begitu, aku sangsi bahwa kamu belum tentu mau menerima aku saat beranjak tua nanti."

Wisnu menggeleng, pertanda tak setuju dengan pendapat sang puan. "Aku memang tertarik karena kamu cantik, tapi jelas nggak hanya itu yang aku lihat dari kamu, kebaikanmu juga alasan kenapa perasaanku jatuh untukmu."

"Pernah melihat kebaikanku?" tanya Irene segera, ia merasa tidak pernah berbuat baik pada Wisnu selain menghadiahi barang mewah sebagai balasan pemberian laki-laki itu sendiri.

Pria itu mengangguk, praktis membuat Irene bingung.

"Kapan?"

"Aku melihatmu turun dari mobil di jalan pulang, memborong jualan seorang tua renta dan membagikannya ke orang-orang, di hari berikutnya hal itu terjadi lagi. Kamu melakukannya berulang-ulang, menyebarkan kebahagiaan pada mereka-mereka yang mungkin terus menanyakan arti hidup selama ini. Itu kebaikan yang aku lihat langsung dengan mataku, Rin."

"Jalan pulang kita beda, kenapa bisa tahu?" Irene jelas menjadi curiga dan menilik manik mata pria itu dengan tatapan tajam.

Sepersekian detik, hanya hening yang melingkupi, Wisnu seakan mencari-cari jawaban.

"Kebetulan aku lewat di jalan yang sama waktu itu, hanya beberapa kali, dan selama beberapa kali itu, aku terus melihatmu, entah membantu nenek tua, anak kecil, atau sekadar memberi makan kucing liar, kamu benar-benar baik. Itu salah satu alasan kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu."

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang