Kedatangan Saddam dan Irene yang berjalan bergandengan mampu mengalihkan atensi orang-orang.
Jika para perempuan dengan pakaian kurang bahan kebanyakan membicarakan Saddam. Lain lagi dengan para pria berpakaian rapi dan menawan yang melirik Irene tanpa segan.
Kedua orang berstatus bos dan sekretaris ini tiba di Semarang tepat tadi sore. Mereka sempat istirahat di hotel sejenak sebelum akhirnya berangkat ke acara ulang tahun pernikahan yang dimulai pukul delapan malam.
Saddam terlihat lebih santai dengan memakai kemeja warna biru dan celana slim fit warna putih. Rambutnya terlihat disisir rapi ke atas. Acara ini bukan acara formal yang mengharuskan Saddam menggunakan setelan, itu sebabnya pria ini merasa lebih nyaman. Sebab, seharian memakai setelan sungguh menyiksa.
Irene sendiri juga terlihat menawan dengan balutan dress motif floral warna kuning, off shoulder. Riasannya simpel saja, seperti Irene yang biasanya. Bedanya, rambut Irene yang biasa diikat rapi sekarang tergerai.
"Pak, fans bapak itu disapa dulu. Kasian udah pada ngiler."
Bukannya menyahuti celetukan Irene, Saddam balas berbisik, "Laki-laki di meja depan itu liatin siapa, ya? ke arah kita kayaknya."
Irene agak tersipu.
"Apaan, sih, Pak. Mereka punya mata, ya bebas dong mau liat siapa aja."
"Lah saya takutnya dia naksir saya. Dari tadi kayak kagum gitu ngeliat ke saya."
Seketika, ekspresi perempuan yang terlanjur ge-er ini berubah menghunus. Bukannya apa-apa. Dari nada bicara Saddam jelas menyiratkan ia tengah membahas laki-laki yang sedari tadi menatap Irene. Ternyata eh ternyataaaa, lain diduga lain aslinya.
"Yuk, Ai. Kamu jangan tegang, ya. Cukup ingat bahwa kamu punya bos ganteng luar biasa."
"Yang bilang bapak ganteng kayaknya matanya ketutup buldozer, Pak."
Sial. Saddam geleng-geleng kepala seraya mendengus singkat, kemudian menarik Irene untuk masuk ke rumah bertingkat empat.
Jangan tanya sebelumnya mereka di mana. Sedari tadi keduanya berdiri di tengah kerumunan orang di halaman depan seolah ingin jadi tontonan. Salahkan Saddam yang terhenti sejenak membalas pesan. Jangan tanyakan Irene. Perempuan ini sudah bersusah payah untuk tetap tenang meski mendengar bisikan tidak sedap yang membahasnya bersama Si Primadona Wanita.
"Siapa, sih? gelendotan kayak monyet di lengannya Saddam."
"Tau, tuh! Sok kecakepan."
"Saddam masih sama model yang dulu kan, ya?"
"Jelas lah! mereka langgeng banget sih kalo ngeliat beritanya."
Beruntung saat masuk ke lantai satu rumah mewah itu tak lagi ada golongan manusia berisik kurang kerjaan. Yang ada hanya manusia-manusia berkelas dengan pakaian sopan, menawan dan menatap mereka apa adanya; tidak dilebih-lebihkan seperti bertemu berlian berjalan.
"Pak, lepasin tangan saya, deh."
Saddam melirik sekilas dan segera melepaskan tangan Irene.
"Gak sengaja ketarik."
Kedua orang ini mendekati sang tuan rumah sekaligus yang punya acara, yakni Hadi dan istrinya yang tampak baru selesai berbincang dengan tamu.
"Selamat malam, Pak Hadi." Saddam menyalami dengan rasa hormat.
"Malam.... Kirain gak bisa datang kamu, Dam. Makin sibuk, ya, sekarang." Hadi yang seumuran dengan orang tua Saddam itu tersenyum semringah.
Irene ikut menyalami dan memberikan selamat atas ulang tahun pernikahan pasangan tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
Literatura FemininaSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...