Irene tengah membereskan dokumen di atas meja saat Saddam keluar dari ruangan."Ai, Pak Tedjo minta ketemuan di mana?"
"Harmoni Resto, Pak. Mau pergi sekarang?" Perempuan ini melirik jam tangan yang baru menunjukkan pukul 11 lewat 20 menit. Masih banyak waktu sebelum makan siang.
"Iya, saya ada urusan lain. Jadi, nanti biar sekalian langsung ke restonya." ucap Saddam. Lantas membuat Irene mengernyit. Kemudian, "Ah, ini bukan urusan kantor."
Irene anggukkan kepala. Setiap urusan Saddam, kan, seharusnya ia yang atur. Makanya Irene bingung beberapa saat waktu Saddam bilang dia ada urusan lain.
"Oke, Pak." Irene membereskan barang-barangnya sedikit dan memasukkan ke dalam tas.
"Oh iya, kamu gak usah ikut."
Irene mengangkat alisnya.
"Pertemuan sama Pak Tedjo, bapak sendirian aja? Gak butuh saya, gitu?"
Laki-laki itu mengangguk sembari lalu. Irene jadi terheran-heran. Tidak biasanya si bos pergi sendiri tanpa mengajaknya. Irene maklum kalo urusan pribadi, tapi urusan kantor dengan Pak Tedjo? Ah, sudahlah. Anggap aja rezeki karena ia tidak perlu repot-repot menemani Saddam.
*
"Ririn … apa kabar?"
Irene yang masih sibuk menatap layar komputernya sampai tidak menyadari seseorang sudah berdiri di depan mejanya sedari tadi. Saat matanya melihat, ternyata Renal.
"Nyari bos, ya?" tebak Irene tepat sasaran.
"Kamu itu emang paling peka, Ririn."
"Alah, apaan." Irene melirik jam tangan. "Baru 30 menit lalu bos pergi."
"Tumben gak sama kamu?"
"Gak tau, nih, bosan kali liat aku mulu."
"Yaudah, deh. Ngomong-ngomong, mau makan siang di mana, nih?"
Bibir perempuan ini baru terbuka satu senti saat seseorang datang menghampiri.
"Rin, lunch bareng yuk!"
Kesal akibat keberadaan orang itu yang ujug-ujug datang, Renal menepuk pundaknya. "Halo ... di sini ada orang lho. Kok, situ gak nyapa?"
Irene tertawa pelan. Ada-ada saja. Seseorang yang baru datang itu Mitha, perempuan berusia dua tahun di atas Irene.
"Ooh, orang, ya? Kirain patung baru buat pajangan kantor."
Renal melotot sebal. Aslinya pura-pura, sih. Mereka terkenal suka bercanda. Karyawan lantai 26 memang dekat seolah tak berjarak. Semuanya membaur dengan baik. Irene merasa sangat bersyukur karena dikelilingi orang-orang seperti mereka.
"Mbak Mitha mau makan di mana emangnya?" Irene mengambil tasnya seraya berdiri.
"Yang deket kantor aja. Suki-Suki, gimana? Mau?"
Irene mengangguk lalu melirik Renal. "Mas Renal ikut yuk?"
Laki-laki itu diam berpikir-pikir. Mitha langsung menepuk pundaknya keras. "Gak usah sok sibuk. Semua orang tahu Mas Renal gak akan pernah nolak urusan makan."
Renal cengar-cengir. "Iya lah ikut. Ririn yang traktir, kan?"
Sontak saja, ucapan itu membuat sang empunya nama jadi terkekeh pelan. Mitha langsung nyeletuk. "Kebiasaan, deh, Mas. Harusnya yang laki lah yang bayarin makan. Ya, kan, Rin?"
"Nah, itu dia. Masa aku mulu yang traktir situ, Mas." Irene mengompori.
"Kalau aku yang traktir kamu sama Mitha, bisa-bisa minggu ini aku makan promag doang. Ririn iya makannya seuprit. Lah, Mitha? Makanannya segunung. Habis lah uang gajiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...