Part 33

5.3K 387 66
                                    

Alis sang puan terangkat begitu melihat sosok pria yang berdiri dengan senyuman lebar di depan sana.

Saddam.

Bos perusahaan manufaktur itu ujug-ujug datang di waktu terakhir menjelang jam bubaran kantor.

"Ai, dinner sama saya, ya?"

Irene melirik jam tangan, lalu menoleh pada karyawan yang masih lalu-lalang. Ada yang pura-pura ketinggalan sepatu lah, ada yang tiba-tiba jatuhin berkas lah, apa pun yang mereka kerjakan untuk menunda agar tidak segera minggat dari lobi ASA Property. Keberadaan Saddam Fernandez di sini menjadi pemicu utama mengapa karyawan ASA yang haus belaian itu masih betah berlama-lama.

"Tujuan?"

"Ya, makan malam, Ai. Masa main petak umpet?"

"Kenapa makan malamnya harus sama saya?" Bukannya ada Chelsea? Kenapa tidak mengajak perempuan itu? Ingin Irene bertanya begitu, tapi diurungkan karena merasa tidak perlu tahu.

"Saya mau ngomongin sesuatu. Kalau berkenan, ayo ke rumah saya. Tentunya saya akan menjamu kamu dengan baik. Mau, ya?"

Manik mata itu penuh pancaran meyakinkan, membuat Irene lagi-lagi menghembuskan napas pelan.

"Lain kali, ya." Masalahnya sekarang, ia sudah ada janji dengan seseorang.

Kali ini Saddam kehilangan senyum. Ia panik begitu Irene melangkah melewatinya, tangan sang pria refleks meraih lengan itu, serta-merta membuatnya berbalik.

Seperti adegan drama Korea, begitulah yang ada di pikiran karyawan ASA. Alya sang resepsionis bahkan menopang dagu dengan mata berbinar-binar. Semua merasa bahagia mendapatkan tontonan spesial. Kanjeng Ratu kesayangan memang sedang dikejar-kejar oleh banyak pengusaha, tetapi yang datang ke kantor secara langsung baru yang satu ini.

Tentu saja ini agak membuat heboh. Apalagi sebagian dari mereka mengetahui siapa sosok Saddam.

Irene nyaris berteriak kalau tak ingat situasi. Ia lantas melepaskan cekalan di tangan dengan pelan, selagi begitu matanya menatap lurus tepat di manik coklat pria di depannya.

"Lain kali aja, ya. Sekarang saya sudah ada janji temu." Jawaban ini final. Irene tidak mau Saddam memohon, ia terlanjur membuat janji dengan seseorang.

Entah sihir apa, Saddam perlahan mengangguk. Suara lembut Irene tadi bagai menghipnotis. Bahkan saat perempuan itu berlalu dari pandangan, ia masih betah berdiam diri.

Karyawan ASA ada yang menahan rasa kecewa karena tak melihat adegan romantis apa pun. Melihat Saddam perlahan berjalan keluar dari lobi, mereka semua cemberut.

"Ah, Kanjeng Ratu kita benar-benar sesuatu. Masa yang begitu diabaikan?" seorang laki-laki mendekati Alya yang masih setia memandang pintu masuk lobi yang terbuat dari kaca.

Alya melirik sekilas. "Kanjeng, mah, udah terbiasa sama yang begitu. Lo gak ingat sama pengusaha Makassar yang datang ke kantor untuk review perumahan di Kemang? Asistennya mengirimkan satu unit Pajero sport yang datang sehari setelah tersebarnya kabar di ASA, bahwa Kanjeng menolak pernyataan cinta bos perusahaan mereka. Katanya, asisten tersebut gak dibolehin pulang sampai Kanjeng Ratu menerima hadiah dari mereka."

Dika yang mendengar itu teringat. "Iya juga, ya. Kalo gak salah waktu itu Kanjeng malah ngasih ultimatum dengan mengirimkan satu unit Rolls-Royce dari showroom Sparkle yang bahkan belum kita promosikan. Mampus, dah, itu Asisten pasti kena masalah karena gagal bikin Kanjeng menerima hadiah dari bosnya."

"Lagian mau pamer kekayaan kok sama Kanjeng Ratu? Ya, dibalas lah!"

Keduanya tertawa dan mulai bergosip sebelum pulang dengan bahasan yang tidak jauh dari kemalangan nasib para pengusaha, yang sudah banyak tertolak oleh Kanjeng Ratu mereka.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang