Part 25

6.4K 402 62
                                    


"Foto yang beredar di media sosial membuat gempar khalayak ramai. Terlihat dengan jelas bagaimana dua insan itu memadu kasih..." ucapan Widya terhenti, tak sanggup membaca artikel di layar ponsel.

Beberapa menit yang lalu ia dikagetkan dengan informasi di grup keluarga besar. Mengenai Saddam, anaknya yang kepergok bercumbu di salah satu bar. Ia benar-benar tak bisa percaya dengan ini semua. Ingin rasanya bertemu dengan si pembuat artikel dan menanyakan kebenaran informasi yang diunggah.

Sementara, Susilo saat ini tengah berbicara dengan salah satu kerabatnya. Ponsel genggam itu mendekap telinga, dan tangan kiri pria paruh baya ini memijat pelipis.

"Baik, Pak Aan. Sepertinya juga kita tak dapat melaksanakan perjodohan itu. Anak saya membuat masalah yang runyam sekali saat ini. Iya, Pak. Nanti kalau ada waktu kita bahas lebih rinci. Biarlah dahulu. Bukan hak kita juga untuk mendekatkan mereka secara paksa. Iya, Pak."

Susilo menggeram. Bagaimana mungkin anak tunggalnya itu bisa berbuat hal demikian? Tidak pernah ia mengajarkan sesuatu yang buruk pada anaknya. Selalu mewanti-wanti untuk menghormati seorang wanita.

"Bund, udah telpon Saddam?"

Widya menoleh. "Nomornya gak aktif, Mas."

Susilo mendengus kesal. "Kenapa lah anak itu? Gak biasanya seperti ini."

"Aku curiga dia dijebak."

Susilo mendudukkan diri di samping sang istri. "Senin depan RUPS, mampus lah anak itu dihujat orang-orang."

Widya khawatir. Rapat umum pemegang saham. Kedengarannya biasa saja. Tapi, dengan berita yang beredar ini, akan menjadi tidak seperti biasa.

"Bagaimana ini? Kamu harus turun tangan, Mas."

Susilo sudah lelah untuk terlibat dengan pekerjaan kantor. Sesekali memang datang memantau. Tapi, untuk turun tangan melindungi anaknya, ia tidak ingin.

"Biarin lah. Udah gede begitu. Buktinya udah bisa cium cium anak gadis orang. Biarin aja tanggungjawab sendiri nyelesain masalah."

"Gitu-gitu masih anak kamu, Mas."

"Perangainya itu bukan turunan aku, ya. Mana ada aku godain cewek di klub malam."

"Halah ..." Widya mendorong suaminya yang mendusel di pundaknya. "Aku mau telpon Ririn aja. Cuma dia yang bisa diandalkan."

"Airin lagi, Airin lagi."

Susilo tersenyum tipis. Sekretaris perusahaan yang satu ini memang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia masih teringat jelas bagaimana perempuan itu menyelesaikan masalah dengan baik saat dia masih menjabat. Perempuan itu bahkan menemukan adanya 'tikus got' yang membawa musibah bagi SF. Mereka-mereka yang menyimpang dari tujuan perusahaan berhasil dienyahkan dengan baik, berkat pantauan gadis itu secara langsung. Lebih dari dua puluh karyawan pengkhianat yang membocorkan rahasia SF dipecat bersamaan.

"Airin, kenapa anak saya melewatkan kamu, ya?"

Susilo tak habis pikir. Bisa-bisanya perempuan seperti Irene tidak dilirik oleh Saddam selama ini. Padahal ia sangat ingin punya menantu seperti perempuan itu. Sosoknya yang perhatian membuat Susilo merasakan seperti punya anak perempuan. Irene seringkali mengirimkan mereka makanan. Kadang juga, kalau mau minta rekomendasi restoran ataupun hotel yang enak untuk berlibur, Irene yang akan dengan segera merekomendasikan. Bahkan, saat salah satu di antara mereka jatuh sakit, perempuan itu adalah sosok pertama selain keluarga yang dengan segera menanyakan keadaan, tak lupa pula mengirim sederet obat-obatan sekaligus perhatian. Perempuan itu benar-benar sesuatu yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.

"Saddam ... Saddam ... berlian di depan mata, malah nyari batu kerikil. Bodoh kamu, ya!"

*

Sweet Or Sour. Begitulah tulisan yang ada di depan sebuah bangunan bertingkat dua. Semua ornamen klasik dipadu ornamen modern di sudut berbeda menghiasi ruangan yang didominasi kayu. Cahaya matahari menyelinap masuk di antara jendela kaca yang menghadap ke tempat parkir. Di depan kaca, berbagai macam bunga tumbuh asri.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang