"Bos, ini di luar rencana kita. Tak ada satu pun dari kami yang menyangka bahwa seperti ini kejadiannya. Kami bahkan kehilangan satu anggota dalam kecelakaan yang terjadi."
"Kenapa bisa seperti ini?!" bentak Wisnu pada seseorang di sambungan telepon.
"Maaf, Bos. Anggota kami mengemudi sendiri mengikuti mobil yang bos minta. Kami hanya memantau semua aksi yang dia lakukan. Hanya saja, tampaknya keberuntungan sedang tidak berpihak. Truk yang digunakan mengalami pecah ban belakang kanan, anggota kami kehilangan kendalinya. Truk oleng dan menabrak mobil lain. Di saat yang sama, rupanya Mini Cooper itu ditabrak oleh mobil berbeda dari arah belakang. Jadi, kalau disimpulkan… perempuan ini meninggal bukan dari tangan anggota kami."
Wisnu memijat pelipis.
"Lalu kalian tahu tidak bahwa sebenarnya yang kalian ikuti itu orang yang salah?!"
"Maaf, Bos…"
"Kalian tahu siapa Airin Revalina?!"
"Tahu, Bos. Dia orang yang sama yang bos minta kami untuk ikuti menuju Bandung beberapa Minggu yang lalu. Dia juga orang yang sama yang bos minta kami carikan alamat rumahnya."
"Kalau kalian tahu, kenapa bisa salah target?!"
"Masalahnya bos katakan kami harus mengikuti Mini Cooper dengan plat B 224 IRN. Dan mobil itu benar-benar melewati tol menuju Bogor, Bos. Mana kami tahu kalau ternyata yang ada di dalam bukan Airin itu."
Wisnu menarik dasinya kasar, tangannya terkepal, pada ponsel itu dia menekankan seluruh ucapan. "Pokoknya kalian tutup mulut atas kejadian ini. Jangan ada yang berani-beraninya membuka segala rahasia antara saya dan kalian. Biarkan pihak kepolisian menyimpulkan bahwa kecelakaan terjadi karena memang sudah takdirnya begitu. Jangan sampai ada yang tahu, bahwa ada yang merencanakan semua ini. Paham?!"
"S-siap, Bos."
***
"Airin! Ya Tuhan… mana Airin?" Widya berjalan terseok mendekati Saddam yang duduk di salah satu kursi tunggu.
Susilo mengekori di belakang sana.
"Dam, Ayah sama Bunda baru lihat berita katanya ada kesalahan identifikasi korban?"
Belum sempat Saddam memberi jawaban, tiba-tiba suara ricuh dan gaduh terdengar. Lekas ia berdiri karena kedatangan seseorang yang disertai sahutan suara sumbang di belakangnya.
Irene berhambur memeluk Widya terlebih dahulu, karena wanita paruh baya itu yang langsung lari mengejarnya. Saddam terdiam memandangi punggung Irene, ada Ida di sebelahnya. Kemudian di belakangnya lagi, ada beberapa orang yang sesungguhnya tidak Saddam sangka kehadirannya.
"Ya Allah … Roh-nya Bu Ririn gentayangan." celetuk Ocha dengan mata sembab.
"Kasian Mbak Ririn, ya Allah… biarkan dia tenang di atas sana."
"Mbak Ririn…"
Suara-suara sumbang dari yang lain kembali memperkeruh suasana, membuat Saddam harus menyuruh Riyan menghampiri orang-orang itu.
Karyawan SF lantai 26 memilih korupsi waktu kerja demi datang ke Bogor dengan menaiki mobil Renal. Terbayang, kan, betapa sempitnya sebuah Jazz ditumpangi tujuh orang? Tak perlu dipikirkan, mereka rela mabok perjalanan berjamaah asalkan dapat datang ke rumah sakit tempat korban kecelakaan dilarikan.
"Mas Riyan itu… itu arwahnya—" Sonya menunjuk dengan jari gemetar, pada sosok Irene yang mereka lihat mulai berjalan pergi bersama Saddam.
Riyan menarik sudut bibirnya ke atas. Hendak tertawa, tapi rasanya tak pantas dalam keadaan seperti ini. Berselang beberapa menit lamanya setelah Riyan membuka kegiatan bercerita dengan cara yang tidak akan bisa kalian komentari, akhirnya terlepas lah napas lega dari masing-masing pendengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...