Sedikit Irene ceritakan beberapa hal tentang kantor tempatnya bekerja. Perusahaan itu dinamai SF Group. Produsen berbagai jenis makanan dan minuman yang bermarkas di Jakarta, Indonesia. Sebelum berdiri agung dengan nama itu, sebelumnya dikenal dengan nama PT Sinar Fernandez, yang dibangun pertamakali kisaran tahun 1980. Setelah mengalami pergantian nama beberapa kali dengan alasan bahwa Pak Adi—pendiri sekaligus pemilik perusahaan—mengaku bosan dengan nama bisnisnya, akhirnya mantap sudah di tahun 2007 nama perusahaannya berganti menjadi SF Group.
SF Group menaungi banyak sekali anak perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Meski begitu, fokus utamanya berada di sektor consumer goods dan berada di subsektor food and beverages.
Pergantian pemimpin baru terjadi dua kali saja selama perusahaan ini berdiri. Berawal dari Fernandez Adi Santoso, beralih kepada Susilo Fernandez, dan kini berada di tangan Saddam Fernandez sebagai pemegang-ketiga estafet bisnis.
Mengenai pegawai, yang Irene tahu sudah lebih dari 15.000 karyawan tetap dan tidak tetap, bekerja di bawah payung SF. Mereka tersebar di berbagai bidang, kebanyakannya berada di pabrik utama.
Irene Revalina sendiri bekerja di SF kantor pusat sebagai sekretaris semenjak berusia 25 tahun. Bekerja bersama Susilo Fernandez selama kurang lebih dua setengah tahun. Sungguh, kalau mau jujur, saat itu Irene masih semangat-semangatnya bekerja. Sayangnya, semenjak pemindahan jabatan pada anaknya yang bernama Saddam Fernandez, Irene sepertinya akan overdosis obat penenang. Terlebih saat Saddam meminta untuk merangkap pekerjaan personal assistant sekaligus.
Selain karena merasa agak tertekan, sebenarnya ada hal lain yang membuat Irene merasa lebih kesulitan berhadapan dengan Pak Bos satu ini, dibandingkan yang sebelumnya. Alasan ini belum bisa Irene ceritakan. Pada intinya, ia merasa kurang nyaman bersama Saddam.
Sebelum bertemu Saddam sebagai atasan dan bawahan. Irene sudah beberapa kali bertemu laki-laki itu di beberapa acara penting perusahaan, seperti ulang tahun dan pembukaan beberapa unit bisnis baru serta anak perusahaan di industri yang sama. Irene dahulu mengira bahwa Saddam adalah tipikal manusia kalem yang tidak banyak tingkah, berwibawa dan tampan tentu saja.
Tetapi setelah bekerja dengannya kurang lebih satu tahun setengah, Irene bahkan tidak mengerti bagaimana jalan pikiran bapak Saddam ini. Dia pintar, memang. Tetapi sifatnya… nauzubillah. Irene tidak yakin apakah ada orang yang mau bekerja dengan dia apabila Irene resign.
Coba lihat sekarang.
Laki-laki itu meminta Irene untuk memijat kakinya yang cedera. Konon, dia yakin Irene pernah ditraining menjadi tukang pijit sebelum menjadi seorang sekretaris.
Hei, apa-apaan!
Maksud Irene… apakah wajahnya ini ada tampang tampang tukang urut? Apakah ia terlihat seperti salah satu muridnya Mak Jarot? Eh, siapa pula Mak Jarot? Ah, lupakan. Ia sebenarnya mau-mau saja memijatnya, tapi kalau terjadi apa-apa nanti jangan salahkan ia.
Irene memerhatikan kaki Saddam yang memerah.
"Ini serius saya yang pijit? Kalau nanti salah urat, gimana?"
Saddam yang berbaring selonjoran di sofa, melirik sekilas dari balik ponsel.
"Urat saya gak pernah salah."
See? Adakah yang sanggup menghadapi tingkah tengil ini? Irene, sih, pengin angkat tangan dan segera masuk kandang ayam. Mengeram di sana lebih baik daripada makan hati menghadapi bos. Namun, karena masih memikirkan perawatannya yang mahal, yang tak akan ia relakan sia-sia hanya karena bergaul dengan ayam, lebih baik ia menjawab saja dengan nada sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...