Part 37

3.6K 321 53
                                    

Asakusa, Tokyo, Jepang
10 tahun yang lalu ...

Hari itu, Saddam sengaja berlibur di Tokyo, setelah melewati banyaknya drama kehidupan; baru lulus kuliah, dijodohkan mendadak dan sedang apply kerja di BUMN, sembari menunggu panggilan interview yang entah kapan, ia memilih merelaksasi pikiran dengan mengambil paket tour 3 hari di Jepang.

"Kita sekarang di Nakamise-Dori, Asakusa."

Beruntungnya, Saddam mendapatkan tour guide yang mahir berbahasa Indonesia. Katanya, orang ini—sebut saja Yamada—pernah bekerja di Indonesia selama lima tahun dan kembali ke Jepang baru-baru ini untuk melanjutkan bisnis keluarga, salah satunya usaha tour keliling Jepang.

"Asakusa ini terletak di timur Tokyo. Di sini kamu bisa menikmati kuil dan suasana Tokyo di zaman dulu."

Begitu menyusuri jalanan Asakusa yang ramai pengunjung, mata Saddam memang dimanjakan dengan bangunan-bangunan antik yang memiliki aura magis tersendiri.

"Di sepanjang jalan ini, toko semua, ya?"

Yamada membenarkan.

"Sebab Nakamise-dori adalah distrik perbelanjaan yang berderet sepanjang 250 meter. Terdapat 88 toko berbeda yang berjajar di sepanjang jalanan ini. Masing-masing toko memiliki tanda elektronik yang indah serta berbagai dekorasi yang berubah pada setiap musimnya."

Saddam manggut-manggut sembari mendengarkan penjelasan pemandu tur.

"Awal mula Nakamise-dori konon mulai ada antara tahun 1688 dan 1735. Selama kurun waktu tersebut kompleks perbelanjaan ini dipenuhi dengan kedai teh, toko penganan, serta toko yang menjual barang-barang seperti mainan untuk anak-anak atau suvenir untuk dibawa pulang oleh para pelancong, yang kemudian menjadi terkenal karena memiliki segalanya."

"Coba lihat ke sana," tunjuk Yamada. "Itu suvenir yang lumayan terkenal di sini."

"Patung kucing?"

"Lebih tepatnya lucky cat atau Maneki Neko. Tertarik membeli satu?"

Saddam lalu mengangguk. Mereka memasuki toko suvenir, sekitar sepuluh menit setelahnya keluar dengan membawa banyak paper bag.

"Sebenarnya kalau dilihat lagi, rasanya tempat ini sudah banyak perubahan yang mengarah ke hal yang lebih modern, ya."

Yamada pun kembali menjelaskan.

"Memang benar. Pada proyek tahun 1885, bangunan di dalam Nakamise-dori dipilih untuk dibangun kembali menggunakan batu bata, yang melahirkan jalan perbelanjaan yang lebih modern. Jalan ini hancur pada tahun 1923 karena gempa bumi Kanto Besar dan dibangun kembali menggunakan besi dan beton 2 tahun kemudian pada tahun 1925, melahirkan apa yang hanya bisa dikatakan sebagai jalan bergaya Momoyama."

Meskipun tidak begitu paham, Saddam manggut-manggut saja.

"Iya, aku cuma jalan-jalan aja. Nanti juga balik ke apartemen."

Saddam menoleh. Ia mendapati seorang perempuan tengah menelpon di depan sebuah toko.

"Asakusa. He'em, cuma refreshing aja. Mumpung cuti, kan? Iya. Gimana? Foto itu, ya? Udah, udah aku lihat kemarin. He'em. Nggak lah, aku aja masih kuliah ini. Ya kali, Ma ..."

Saddam setia memerhatikan, perempuan itu memakai kimono dengan warna dasar merah muda, rambut hitamnya terurai lepas di samping sisi kanan wajah, sementara sisi kiri kepalanya ada hiasan jepit rambut berbentuk bunga sakura. Satu penilaian Saddam di pandangan pertama itu, cantik.

Atau mungkin ... cantik sekali.

Apalagi mengetahui bahwa sepertinya perempuan itu orang Indonesia. Bukan maksud Saddam menguping, tetapi karena jaraknya yang dekat, ia dapat menangkap ucapannya.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang