Sepulangnya ke rumah, Irene membuka pesan dari sang ayah.
Tiga minggu lagi papa ke Indonesia. Saat itu kamu udah harus siapin keputusan tentang pembicaraan kita waktu itu. Bisa, kan?
Pembicaraan yang dimaksud ialah mengenai alih kepemimpinan perusahaan mereka. Matanya melirik ponsel lagi saat pesan pop-up muncul, kali ini dari Pak Bos.
Boleh saya telpon kamu?
Jarinya mulai mengetikkan balasan. Belum lagi sempat mengirimkan pesan, tau-tau panggilan itu masuk.
"Selamat malam, Pak."
"Formal amat. Kamu resepsionis Hotel mana? Selamat malam, Pak. Mau pesan kamar tipe apa? Untuk berapa orang? Gitu, kan, ngomongnya?"
Irene berdecak, tidak ingin bercanda sekarang. Tidak saat keduanya berada di antara situasi yang awkward.
"Bapak butuh sesuatu?"
"Saya butuh kamu."
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Ai, saya kayak ngomong sama resepsionis kantor kita, tau nggak. Mana Airin yang ceplas-ceplos kayak dulu? Saya penginnya yang itu, tau. Walaupun yang sekarang juga sama, sih. Tapi ... ah, kamu mendadak dingin. Saya kangen kamu yang lama, deh."
Irene tertegun.
Sekarang Irene mulai mengerti mengapa Pak Bos bisa tiba-tiba jatuh cinta. Mungkin saja itu ada sangkut-pautnya dengan cara Irene selama ini yang memperlakukannya bak seorang teman. Ya, Irene senang bercanda. Mungkin Saddam mulai menyukainya dari candaan-candaan yang selama ini melingkupi mereka berdua.
"Airin, masih di sana?"
"Masih, Pak."
"Boleh saya minta kesempatan?"
"Kita gak lagi main monopoli, Pak." Irene tersenyum tipis. Dia pikir Saddam akan kesal di seberang sana, tapi nyatanya pria itu malah tertawa pelan.
"Ngomongin monopoli, kamu mau main monopoli gak, Ai?"
Irene mengernyit. Random amat ini bapak-bapak. "Gak punya papan monopoli."
"Nggak gitu."
"Terus apa, bapak butuh Dana Umum?" Irene hanya mengikuti pembicaraan yang entah akan berujung ke mana. Dia lelah, makanya sekarang membaringkan diri sembari mendengarkan Saddam bicara.
"Saya suka kamu bercanda, tapi sekarang saya penginnya ngobrol serius aja. Jadi, lupakan monopoli sejenak. Saya boleh ngomong, kan?"
"Ya, silakan."
"Saya mau minta kesempatan. Benar-benar sebuah kesempatan dari kamu. Semacam kesempatan untuk seseorang yang butuh memperjuangkan mimpinya."
"Kesempatan untuk apa?" ulangnya.
"Kesempatan untuk mengenalmu lebih dekat. Saya tau kamu syok mendengar pengakuan saya beberapa hari lalu, dan kamu juga pastinya syok dengar ucapan saya tadi. Tapi, saya benar-benar serius dengan itu semua. Beri saya kesempatan untuk bikin kamu cinta sama saya. Mimpi apa? Jelas mimpi untuk membangun cinta yang murni bersama kamu, Ai."
Matanya yang terpejam kembali terbuka. Saya tidak bisa. Kita sebatas hubungan kerja. Jangan bertindak sejauh ini, Pak. Ini tidak boleh ada di antara kita. Kata-kata Itu sudah akan ia lontarkan andai saja hatinya sejalan dengan benak. Tapi itu hanyalah andai-andai, karena nyatanya Irene malah mengucapkan hal yang bertolak belakang.
"Saya tidak akan menutup hati. Bapak boleh ambil kesempatan itu." My God! Irene merasa tersentak dengan ucapannya sendiri. Dia lantas duduk dan mematikan panggilan. This is insane! Irene merasa dia mendadak gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
ComédieSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...