Pukul dua dini hari, ponsel itu berdering nyaring, pemiliknya terperanjat di kasur. Mata yang masih berusaha untuk terbuka, segera melihat siapa sang penelpon.
Boss
Belum sempat menjawab, panggilan di sana terlanjur berakhir. Detik berikutnya, layar menampilkan pesan belum dibaca.
Dandelion Blossom, tolong jemput.
Irene mengesah kasar. Belum sempat membalas pesan itu, ia terdistraksi oleh notifikasi email.
From: Aquariussecret@gmail.com
To: Rvlinairin@gmail.comHi, dear!
Someone asked for your identity.
What do you think?Irene termangu beberapa detik sebelum akhirnya memilih mengabaikan karena ada hal yang lebih penting sekarang. Bosnya ada di Dandelion Blossom dan minta dijemput. Persetan dengan seseorang yang mencari informasi tentangnya. Aquarius pasti tahu apa yang harus dia lakukan kalau Irene belum berikan jawaban.
*
Irene dengan tergesa masuk ke dalam mobil. Minie dikemudikan dengan kecepatan tinggi karena jarak rumahnya cukup jauh dari Dandelion Blossom. Berselang beberapa menit lamanya, mobil itu pun sampai di pelataran gedung Hotel dengan nuansa klasik.
"Kok, bisa terdampar di sini lagi, sih?" Irene bermonolog pada udara kosong. Lantas teringat bahwa terakhir kali Saddam ke sini ialah saat bertemu Jessie—investor dari Shanghai—yang malam itu hampir saja membuat bos melakukan hal yang tidak-tidak, akibat dikasih obat perangsang.
"Gak mungkin mesan kamar, kan, ya?" gumamnya lagi sembari berjalan.
Irene melirik ponsel, tidak ada tanda-tanda bahwa bos melakukan transaksi di hotel ini. Kalau saja Saddam memesan kamar dengan menggunakan kartu kreditnya, maka secara otomatis sebuah notifikasi akan terhubung pada ponsel Irene.
Lantas perempuan itu segera menuju lantai 28. Itu satu-satunya pilihan di Dandelion Blossom yang pasti menjadi tempat Saddam sekarang; sebuah klub malam Dandelion Bar.
Butuh beberapa saat lamanya bernegosiasi dengan petugas agar Irene diperbolehkan masuk. Klub malam dalam hotel ini bersifat privat. Setiap yang masuk harus reservasi terlebih dahulu, atau memang sudah ada janji dengan seseorang di dalamnya. Irene dengan alasan yang kedua. Untung saja ia menunjukkan sebuah kartu nama—milik Saddam yang notabene tamu VIP—yang membuat petugas itu dengan serta-merta mempersilakannya masuk.
Suara dentuman musik DJ langsung menghampiri indera pendengar. Lampu sorot di tengah ruangan berputar-putar menyinari para manusia yang asik berjoget di bawahnya.
"Here we go again…" Irene mengesah. Musik semacam ini adalah musuh terbesarnya. "Tenang, Rin, anggap aja ini lagu Zaskia Gosa." Ia mendoktrin pikiran sendiri agar tidak merasa pusing; membayangkan Zaskia Gosa—penyanyi dangdut favoritnya, yang terkenal dengan goyangan Angsa—tengah bersenandung di kepala.
"Bos gak mungkin ada di antara cewek yang uget-uget gak jelas itu, jadi gak usah khawatir," gumamnya lagi.
Irene berjalan dengan tergesa hingga kadang menabrak tubuh orang yang dilewati. Dalam keadaan kebingungan, tiba-tiba tangannya ditarik.
Irene terkejut.
"Airin Revalina?"
Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan bahu lebar itu menutupi pandangan. Wajahnya tampan dengan senyuman manis.
"Tadi aku ragu, ternyata beneran kamu. Gak nyangka bisa ketemu di sini. Apa kabar?"
Irene memutar otak, mencoba mengingat-ingat siapa lelaki ini, di mana mereka berjumpa dan apakah mereka sedekat itu sampai-sampai pria ini tersenyum lebar padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...