Sorotan lampu yang kadang-kadang berkedip membuat Saddam memijat pelipis, merasa pusing. Sudah pukul 11 malam dan ia masih terdampar di salah satu klub malam di daerah Jakarta Selatan.
Dalam posisi yang duduk di depan meja bar, jari mengetuk-ngetuk gelas vodkatini yang mulai tak diminati. Selain karena ia mulai mengantuk, ini juga karena ia merasa akan muntah. Sepertinya akan sangat memalukan kalau kembali memaksakan minum karena gengsi, dan berakhir pingsan di tempat ini. Ah, bisa-bisa ia jadi objek bully teman-temannya.
Sejak diajak oleh Gerald untuk datang ke Dandelion Bar yang terletak di lantai tertinggi hotel Dandelion Blossom, pria ini belum juga ada niatan untuk pulang.
Biar Saddam ceritakan sedikit. Gerald adalah salah satu teman dekatnya semasa SMA, berulang tahun hari ini. Ah, tidak, lebih tepatnya kurang dari tiga puluh menit lagi. Laki-laki berkulit agak kecoklatan itu selama ini hampir sangat jarang pulang ke Indonesia. Gerald adalah seorang Pilot yang menjabat di salah satu maskapai besar di Singapura. Karena kesibukan masing-masing, mereka jarang berkabar. Kendati demikian, pertemanan tidak pernah renggang sekalipun bertahun-tahun tidak berjumpa. Terbukti dengan kehadiran Saddam yang sukarela di acara ultah mendadak yang diadakan di ruang penuh hingar-bingar—yang jujur saja, hanya kurang dari lima kali dia kunjungi.
Gerald yang sejak tadi berbincang dengan tamunya kembali mendekati Saddam. "Lo kenapa? Dari tadi murung gitu. Teman kita di sana pada ngajakin ngumpul, tuh."
"Lagi banyak pikiran."
Gerald menyesap Red wine dari gelasnya sendiri. Kemudian, "Terakhir gue lihat lo merana parah kayak gini, pas lo tau kalo si Chelsea slash senior SMA slash ketua OSIS kita slash pujaan hati lo itu, ketahuan sudah punya pacar. Dan sekarang… jangan bilang kalau wajah suntuk ini, karena baru aja ketemu dia lagi?"
"Nggak lah. Gue aja udah lama gak saling kontak setelah kelulusan dia waktu itu."
"Kalau gitu, berarti ada wanita lain yang berhasil bikin lo kayak gini lagi?" goda Gerald. "Setahu gue, lo udah pernah bilang kalau sama Audrey, pacarannya pura-pura doang. Apa sekarang lo malah jatuh cinta sama dia? Dan lo lagi mikirin gimana caranya nyatain cinta ke sahabat lo sendiri, gitu?"
"Gue sama Audrey udah putus."
Gerald manggut-manggut, tidak merasa kaget, karena sejak lama ia juga tahu bahwa kemungkinan dua orang itu berlanjut ke jenjang serius adalah nihil.
"Jadi, siapa wanita ini?"
"Keliatan banget emangnya gue ini galau-in cewek?"
"Jelas lah. Lo gak mungkin galau-in pekerjaan. Ini udah pasti urusan hati kalau kata gue, mah." Gerald terkekeh. "Lo masih sama kayak dulu ya ternyata, kaku banget kalo udah urusan cinta."
Saddam mendengus merasa miris karena ucapan Gerald sangat tepat menusuk jantungnya. "Ya sudah, berhubung lo ini sahabat gue yang ngerti banget masalah cinta, gue mau tanya sesuatu."
Gerald memiringkan kepalanya pelan, seolah mempersilakan.
"Lo kerja di maskapai besar, pasti gak terhitung seberapa banyak orang yang udah lo temui dan kerja bareng lo. Misal, mbak-mbak pramugari, petugas darat dan banyak lagi. Pernah gak, lo merasa melibatkan perasaan yang sangat gak profesional alias perasaan lebih dari sekadar rekan kerja?"
"Singkatnya dari yang lo maksud itu adalah cinlok, iya kan?"
Saddam mengangguk.
"Hm, gue emang banyak banget ketemu perempuan selama kerja. Palingan kalau di lingkungan gue, seringnya sama mbak-mbak pramugari. Kalau lagi Remain Over Night di suatu kota, kami bisa berbincang banyak hal dan saling canda yang pastinya sangat mudah memicu perasaan tak profesional kata lo tadi, muncul ke permukaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...