Part 46

3.2K 278 69
                                    


Saddam bergegas memasuki rumah sakit diikuti Riyan di belakang sana.

"Permisi, korban kecelakaan tol ada di mana?"

"Korban meninggal sudah dibawa ke kamar mayat, Mas. Sementara korban luka-luka masih ditangani di IGD."

Setelah mendapatkan informasi di mana jasad perempuannya berada, Saddam menggenggam erat tangannya sendiri. Melihat bagaimana kain putih itu menutupi tubuh yang terbujur kaku, ia menggigit bibir, menahan diri untuk tidak kembali menangis.

"Pak, kalau tidak sanggup untuk melihatnya, sebaiknya kita kembali keluar saja." Riyan memberi saran. Ia sebenarnya merasa takut kalau bos akan histeris sebentar lagi. "Bu Widya sama Pak Susilo sepertinya juga dalam perjalanan ke sini. Beliau menghubungi saya beberapa waktu lalu."

Mengenyahkan segala perasaan tidak rela yang sejak tadi sudah bersemayam dalam diri, Saddam mulai memegang kain penutup jasad. Di dekat pintu, petugas rumah sakit yang mendampingi terlihat mengusap mata. Mungkin merasa ikut sedih melihat langsung bagaimana pihak keluarga korban tampak sendu.

Ai … mungkin setelah ini, hatiku tidak akan pernah bergetar lagi. Getaran itu sudah kamu bawa jauh. Aku akan berusaha ikhlas untuk itu. Kalau memang kemungkinan baik itu ada, aku masih ingin berharap bahwa takdir kita belum terputus di tempat ini. Kalau memang ada keajaiban di depan mata, melihat dirimu terjaga di balik kain ini mungkin tidak akan mengejutkanku. Alih-alih terkejut, aku yakin akan berseru mengucap syukur. Andaikan saja …

Setelah meyakinkan diri berkali-kali, akhirnya kain itu disingkapnya. Bersamaan dengan itu, suara seruan tertahan terdengar dari sampingnya. Riyan menutup mulut yang hampir berteriak kaget.

**

"Presenter tadi mana? Ica mana Ica?" Suara lantang dari pimpinan redaksi di salah satu TV berita itu membahana di Newsroom.

Yessica yang semula terduduk lemas setelah menghubungi beberapa temannya, langsung menegapkan diri. "Siap, Bang! Di sini. Ada apa?"

"Koreksi berita sebelumnya, Ca! Kita kesalahan info."

Ica memiringkan kepala seakan tak percaya terhadap apa yang didengarnya. Sejak kapan siaran mereka yang selalu sesuai informasi di lapangan ini mendadak ada kesalahan?

"Berita yang mana, Bang?" tanyanya, memastikan.

"Kecelakaan beruntun di tol Jagorawi arah Bogor. Jumlah korban yang meninggal saat ini bertambah dua, kemudian korban yang tadi katanya sudah diidentifikasi itu ternyata ada kekeliruan, terus…"

Apa pun kelanjutan ucapan pria ini, Ica tak lagi bisa mendengarnya. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal. Dia merasakan adanya secercah harapan.

***

Dua jam sebelum kecelakaan …

"Progres tender perumahan masih sekitar 60 persen, Bu. Kayaknya baru bisa diresmikan tahun depan. Untuk ruko yang dibangun di tanah daerah Kebon jeruk masih dalam proses penggarapan juga. Lalu …" Tim lapangan berganti-gantian menjabarkan semua yang mereka ketahui. Irene mendengar dengan saksama sambil membaca dokumen yang berkenaan dengan pembahasan mereka saat ini.

"Oke, good job. Terima kasih kerja kerasnya." Semua merasa senang mendapatkan pujian, lebih senang lagi saat mendengar kalimat tambahan dari atasan mereka, "Makan siang dulu, ya, sebelum pergi. Kafetaria gratis hari ini."

Semua orang langsung menyahut gembira, Irene tersenyum simpul. Begitu mereka pamit undur diri, Irene langsung merebahkan tubuh ke sofa. Sejujurnya selama rapat berlangsung, kepalanya sakit sekali. Kini ia memijat pelipis dengan mata terpejam.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang