Part 48

8.9K 370 40
                                    


"Aku, kamu, kita dan semuanya… bisa mati kapan saja. Kalau kita memahami ini, maka kita harus lebih menghargai setiap waktu dan kebersamaan. Dan kalau kita memahami ini, maka kita harus menyiapkan diri dengan berbuat kebajikan. Untuk meninggalkan kesan yang baik pada orang-orang, dan untuk membawa bekal yang cukup untuk kehidupan yang tiada batasnya di akhir perjalanan."

Adalah kalimat paling tidak disangka oleh Irene beberapa saat lalu. Kalimat yang akhirnya membawa serta atmosfer hangat, kalimat dari Saddam yang akhir-akhir ini terlihat jauh berbeda.

Irene pernah bertanya, "Apa aku belum memahami kamu sampai-sampai merasa bingung melihat kamu yang sekarang?"

Saddam tertawa sebagai balasannya.

"Cara pandang kita akan berubah saat diterpa kehilangan, Ai."

Saddam memerhatikan Irene tengah menyandarkan tangan pada dinding pembatas antara kapal dan air yang pekat di depan sana. Mereka berada di kapal pesiar yang tengah berlayar pelan di atas perairan terbuka Tokyo.

"Masih soal kematian, ya?" Irene menoleh.

Saddam harus menarik napas dalam-dalam demi menormalkan detak jantungnya yang tak biasa. Mungkin karena hari ini Irene terlihat jauh lebih menawan dengan balutan kebaya modern berwarna merah maroon. Mungkin karena anak rambutnya yang sengaja tak ikut disanggul itu tengah dipermainkan angin. Mungkin karena matanya bersinar di bawah cahaya lampu yang temaram di atas kapal ini. Atau mungkin karena fakta bahwa mereka baru saja mengadakan prosesi lamaran di perairan yang damai. Semua kemungkinan yang jelas benar itu berhasil membuatnya merasa berdebar.

"Aku selalu merasa kesepian jika orang-orang terdekatku pergi."

Kebersamaan yang pernah ada menorehkan banyak kejadian yang berakhir tersimpan dalam kotak bernama memori. Ingatan tentang mereka-mereka yang pernah hidup, membuat Saddam lantas berpikir. Kalau suatu saat waktunya berakhir, apa ia diingat sama seperti ia mengingat mereka?

"Dalam benak, selalu terbayang bagaimana jika giliranku tiba, Ai. Apa tindakan aku cukup untuk mereka kenang sepanjang masa? Oleh karena bayangan buruk singgah sesaat, aku berpikir untuk jadi lebih baik dari sebelumnya."

Saddam menyunggingkan senyum terbaiknya lalu mendongak menatap langit. Hamparan bintang yang jarang terlihat karena tertutup polusi kali ini nampak nyata bersinar. Ia merasa tenggelam di atap dunia yang tanpa batas.

Irene merenung. Berada dengan jarak yang begitu dekat dengan Saddam, ia mematri segala yang dilihatnya agar terekam jelas dalam ingatan. Pakaian batik yang terlihat begitu pas di tubuhnya membuat Irene tersenyum. Karena melihat itu pun, Irene menyadari bahwa keberadaan mereka di sini tidak sekadar menikmati indahnya malam di negeri matahari terbit. Melainkan juga, mereka sengaja mengikat tali tipis tak kasat mata yang perlahan mengeratkan dua insan.

Menghadapi kehilangan bukanlah hal yang bisa dilupakan dalam sekejap. Oleh karena menghargai dia yang telah pergi, lamaran di antara mereka yang seharusnya terjadi di akhir tahun, dimundurkan dua bulan kemudian. Di sini, di atas kapal yang sudah menghentikan laju, mereka menuntaskan semua perasaan yang belum sempat disuarakan.

"Jadi, motivasi kamu lebih bijak kayak gini demi meninggalkan kesan yang mendalam ya buat orang-orang? Kesan yang bisa mereka kenang saat kamu tinggalkan."

"Aku pernah bilang kalau aku itu keliatan kayak bocah di depan kamu doang? Nah, harusnya kamu nyadar kalau ini aku yang sebenarnya."

"Halah … kamu ngaku-ngaku gini aja udah keliatan lagi tengilnya." Irene mencibir. Saddam tertawa lepas.

"Kok ganteng banget, sih, kamu hari ini?" Irene menangkup pipi Saddam yang sedang tersenyum lebar, hingga pipinya persis seperti pipi ikan buntal.

"Kamu juga kenapa cantik banget hari ini?" Saddam melakukan hal yang sama.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang