Part 30

6.9K 397 49
                                    

Irene menghampiri tiga sahabatnya yang tampak berbincang sembari berdiri, begitu mendekat, raut kesal Dian yang pertama kali ia lihat.


"Kenapa?"

"Tuh, si Dian lagi misuh-misuh, bosnya minta jemput di hotel Charming."

"Bisa-bisanya dia kecolongan di kamar hotel! Dan sekarang gue harus jemput dia!"

Irene nyaris menyemburkan tawa saat Dian menghentak kaki dengan wajah cemberut.

Rupanya bekerja sebagai Asisten Manajer Pabrik lebih menyenangkan dibanding bekerja dengan Pak Joseph. Iya gajinya lebih tinggi, tapi, kalau kejadian seperti ini yang terus Dian hadapi, bisa-bisa mati berdiri. Padahal baru tadi sore keduanya sepakat, bahwa setelah melakukan reservasi hotel untuk Pak Joseph, ia tidak akan diganggu lagi dan bisa dengan tenang menikmati malamnya. Tapi, coba lihat? Hampir jam 12 malam, dan harus kembali sibuk dengan urusan Pak Joseph yang tak habis-habis.

"Udah sono jemput!" Susi mendorong bahu Dian. "Tapi, hati-hati, siapa tau belum kelar urusan itunya." Wanita ini sengaja meng-air quote bagian 'itunya'.

"Apa, tuh, maksudnya? Gue gak paham, nih." Ica menggoda dengan alis turun naik.

Dian menerima telepon dari seseorang. "Iya, Pak. Ini saya udah di jalan, nih. He'em, lima elas menit lagi sampai. Gimana? Hah? Kok, bisa?! Terus saya harus apa? Aduh, Pak, ya kali…"

Dian melirik tiga temannya yang menatap penasaran, detik berikutnya panggilan berakhir. "Well, guys, for your info, ini bos gue dari tadi nelpon pakai telepon resepsionis. HP, kunci mobil, pakaian hingga kolornya pun dibawa kabur sama lawan mainnya malam ini, sekarang dia cuma pakai bathrobe. Dan gue, disuruh beliin baju. Wah, luar biasa sekali hidup gue semenjak ada si Joseph Joseph ini."

Irene, Ica, dan Susi sudah berusaha keras untuk tidak tertawa di atas nasib mengenaskan Dian, ketiganya menutup mulut dengan mata terpejam menahan gejolak.

"Well, gue paham. Pakaian sekelas bos lu itu pasti mahal semua, kalau dijual obralan pun laku keras, jadi gak heran kalau wanita itu nyolong," ujar Ica dengan tangan yang menepuk pelan pundak Dian, menyemangati temannya yang sudah menghela napas berkali-kali.

Irene jadi teringat beberapa bulan lalu, saat Atiek juga disuruh menjual baju Saddam secara obral, meski pada akhirnya tak jadi dilakukan. Irene menyuruh Saddam untuk menyumbangkan ke yayasan amal peduli sesama.

Dian menggigit bibir, menahan suaranya. "Masalahnya Ca ... yang nyolong ini ternyata Waria."

Gubrak!

Lepas sudah tawa mereka. Tak ada yang peduli dengan beberapa pasang mata dalam ruangan. Irene pun tak ambil pusing dengan image walau tahu beberapa laki-laki menatap terang-terangan dengan senyuman tertahan.

"Gimana ceritanya, dah?" Susi memberi respon setelah berhasil menguasai diri.

"Ya, gitu, deh. Pak Joseph salah mangsa. Habis dia digebukin. Bos gue udah mau batalin acara itu-itunya begitu tahu lawannya sama-sama punya antena, jadi pas bos gue nolak buat main, si waria ngegas, ditonjok lah Pak Bos ini, semua barang-barangnya dibawa kabur."

Ica mengangkat tangan, tanda menyerah. "Udah deh, kita gak sanggup. Lo jemput sana. Jangan lupa mampir beli pakaian buat dia, Di."

"Di, gue turut berduka atas nasib lo ini," seloroh Susi pula dengan tampang dibuat memelas.

Irene pun tersenyum simpul. "Di, kalau butuh sesuatu just call me. Lo tadi ke sini naik apa?"

"Taksi, Rin." Mukanya meminta dikasihani.

[✓] Selfie Dulu, Pak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang