Irene mendapati dirinya terbangun di atas kasur. Melihat warna dinding berwarna abu tua itu, sang puan langsung tersadar bahwa ini bukan kamarnya.
Tidak perlu terkejut, ia sangat hafal tempat ini.
Ini adalah kamar Saddam.
Melihat cahaya matahari yang masuk dari balkon membuat Irene seketika melihat jam tangan.
Pukul 07:28.
Mati sudah!
*
Saddam menaiki tangga dengan santai. Ia baru selesai mandi di kamar tamu dan berniat untuk mengambil pakaian di kamarnya sendiri.
Saat memasuki kamar, sebuah setelan berwarna abu muda sudah tersedia di tempat tidur yang entah sejak kapan dirapikan. Saddam melirik sekretarisnya tengah bicara lewat telpon di balkon.
"Iya, kamu tolong handle dulu. Saya sama bapak akan ada rapat sama tim marketing di kantor cabang hari ini. Lumayan lama. Pokoknya saya percaya kamu ya, Cha. Kalo ada yang urgent nanti hubungi saya aja. Iya, saya juga udah dikasih tau kemaren sama beliau. Pak Joseph memang minta dicarikan asisten baru. Kandidatnya udah ada. Terima kasih, ya, Cha"
Irene menyudahi panggilannya kepada Ocha, asisten Irene di SF yang baru selesai mengambil jatah cutinya. Perempuan itu lantas melirik Saddam.
"Bapak baik-baik saja?"
Saddam tidak menyahut, malah sibuk menilai penampilan Irene yang nampak acak-acakan. Mata sembab, pakaian kerja yang digunakan kemarin masih melekat walau sudah tak karuan bentuknya.
"Hari ini kita ada rapat sama tim marketing di cabang, kemudian ada undangan salah satu kolega yang perlu bapak hadiri. Lalu ... maaf, Pak, sepertinya saya tidak bisa pergi bersamaan. Saya harus mengambil baju di rumah. Riyan akan segera datang menjemput dan mengantar bapak ke kantor. Satu lagi, saya minta maaf karena lancang tidur di kamar bapak."
Saddam menggeleng pelan, yang membuat Irene mengerutkan dahi karena tidak mengerti maksud gelengan itu.
"Saya perginya bareng kamu. Sekarang siap-siap aja, Atiek sudah bawakan pakaian untuk kamu di bawah."
*
Irene menatap paper bag yang diserahkan Atiek beberapa saat lalu. Isinya berupa blouse hitam bermotif bunga-bunga kecil warna putih dengan rok span selutut warna abu tua. Ada beberapa helai dalaman juga. Irene geleng-geleng kepala melihat benda keramat yang ada sekitar satu lusin di sana.
"Saya tadi dikasih uang buat beliin baju Mbak. Nah, untuk dalamannya saya gak tau yang cocok sama Mbak yang ukuran berapa, jadi saya beli semua ukuran, deh."
Irene menepis ingatannya akan ucapan Atiek beberapa saat lalu. Ia pun bergegas mandi.
Sekarang keduanya selesai sarapan. Atiek juga sudah membereskan piring-piring kotor dan berlalu pergi.
Kini tinggal Irene yang tengah sibuk memasangkan dasi pada bosnya itu.
Saddam yang berada begitu dekat dengan Irene memanfaatkan situasi untuk meneliti ekspresinya. Ia tidak berani menanyakan sebab apa yang membuat Irene terlihat sangat berantakan pagi ini. Apakah itu karena mengurusnya tadi malam?
"Makasih."
"Untuk apa, Pak?"
Saddam tersenyum. "Untuk kamu yang memapah saya menuju kamar. Untuk kamu yang ternyata diam-diam sudah menghubungi Atiek tadi malam, agar pagi sekali sudah datang dengan membawakan Sup. Untuk kamu yang ternyata sudah membereskan roof top tanpa saya ketahui. Dan untuk semua hal yang saya lewatkan. Terima kasih, Airin."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...