"Papa boleh ngomong sesuatu?"
Irene yang saat itu membereskan kopernya-yang mendadak nambah satu lagi karena membawa oleh-oleh-jadi hentikan kegiatan.
"Apa, Pa?"
Andreas mematikan TV kemudian beralih menatap anaknya dengan serius. "Kamu hidup dengan baik selama ini tanpa Papa di sana. Papa minta maaf karena nggak pernah mengunjungi kamu lagi. Maaf karena jarang menghubungi juga. Walaupun begitu, Papa selalu tau kabar kamu, Rin. George gak pernah absen untuk ngasih kabar ke Papa. Dia bilang, kamu gak lagi tinggal di rumah keluarga. Kamu beli rumah baru dengan uangmu sendiri. Kamu bahkan beli mobilmu sendiri dan menjual mobil dari Mama dan Papa—."
"Aku gak jual, kok," Irene tidak tahan untuk menyela. Mobil yang dimaksud oleh Andreas adalah Si Merah yang berganti menjadi Si Biru alias Mini Cooper yang dipakai pas kecelakaan beberapa waktu lalu.
"Lho, katanya kamu beli mobil lagi."
"Iya, memang. Mobil yang aku beli itu aku percayakan untuk Pak Ajie. Dia udah lama jadi sopir keluarga kita, kan? Aku mau apresiasi kesetiaan dia selama ini dengan ngasih dia Ayla. Aku daftarin Pak Ajie juga untuk jadi salah satu Sopir cadangan di perusahaan Papa—"
"Perusahaan kamu juga," sahut Andreas cepat.
"Milik Papa."
"Milik kamu juga," balas laki-laki itu yang membuat Irene tertawa kecil.
Andreas diam sejenak. "Rin, apa papa sudah pernah bilang alasan menikahi Yurina?"
Irene menggeleng.
"Boleh papa cerita?"
"Sure. Aku butuh penjelasan itu dari lama."
"Kamu tau, nggak?"
"Apa?"
"Mama kamu yang mengenalkan Papa ke Yurina."
Irene sedikit mengernyit. Namun, alih-alih bertanya, ia diam mendengarkan Andreas yang mulai bicara kembali.
"Dulu, kan, Mama kamu sempat diutus jadi dosen penguji sastra Indonesia di salah satu universitas Jepang. Mama ketemu Yurina di sana. Selama beberapa minggu Mama di Jepang, Yurina banyak membantunya. Mama pun cerita banyak hal ke Papa. Sampai waktu itu, saat Papa mulai dinas aktif ke Tokyo untuk peresmian hotel kita di sini, Papa pun dikenalkan kepada Yurina. Jujur saja, awalnya Papa tidak tertarik. Tidak juga ingin dekat dengan perempuan itu.
"Tapi, entah Mama kamu mungkin punya firasat tentang kehidupannya atau gimana, saat kondisinya yang mulai sakit, dia menitipkan pesan. Katanya, kalau Papa mau nikah lagi apabila Mama tiada—karena ada kemungkinan untuk itu, mengingat papa akan sendirian kalau kamu menikah, dan Mama khawatir tentang itu—maka Mama kamu meminta untuk menikahi Yurina. Perempuan Jepang itu punya kepribadian yang baik. Dia yatim piatu sejak kecil. Nasibnya mujur karena dibantu orang yang dermawan hingga bisa bersekolah dan berhasil jadi dosen. Papa kasihan padanya."
Irene masih diam. Ini adalah cerita yang belum sempat ia dengar. Kalau boleh jujur, sudah lama ingin bertanya pada Andreas. Apakah papanya itu mengkhianati Mama selama ini? Apakah Andreas telah lama berhubungan dengan Yurina sehingga semudah itu menikah kembali? Menahun pertanyaan itu hinggap di benak, tapi takut untuk bertanya. Apalagi sejak memutuskan berdamai dengan takdir, ia tidak mau lagi mengingat masa yang kelam.
"Jadi, Papa menikahi Mama Yuri karena kasihan?"
Andreas mengangguk.
"Kok, gitu?"
"Mungkin awalnya memang atas dasar kasihan, dan untuk memenuhi permintaan Mama. Tapi seiring waktu, Papa pun mulai mencintainya. Mama kamu masih ada dalam hati Papa, dia punya posisi yang tidak terganti. Tetapi, meski Yurina punya posisi yang berbeda, dia tetap punya cinta yang sama dari papa. Kamu keberatan dengan itu, Airin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...