HAPPY READING!
Fey menatap Xander dengan tatapan meremehkan lalu mendorong Xander untuk pergi.
"Kalau lo enggak biarin gue nganterin dia. Lo yang nganterin." Xander menatap Fey tidak suka. Bukan karena tidak ingin perempuan itu pergi dia jadi harus mengantarkannya pulang.
Fey berbicara ke arah Volna dan menunjuk Xander yang masih berdiri disana. Cewek itu menatap Xander dengan raut yang tidak bisa diprediksi membuat Xander gugup sendiri, entah kenapa.
Kemudian hanya tinggal mereka berdua berdiri di depan cafe. Xander sendiri menunggu sopir Mamanya untuk datang. Padahal dirinya meminta untuk naik mobil sendiri tetapi dilarang dengan keras. Menyebalkan.
Volna sendiri menunggu Xander untuk pulang, karena kata Fey cowok itu terlalu takut untuk sendirian. Cowok di sebelahnya makan nyolot lagi.
"Lo kenapa enggak pulang-pulang? Berharap gue tawarin tumpangan?" Entah sudah keberapa kalinya cowok ini mengomel, Volna selalu mendiamkan saja.
Volna mendesis, tingkahnya seperti ular. Merasa kesal setengah mati karena cowok di sampingnya selalu mengomel terus memenuhi isi kepalanya. Kalau saja dirinya tadi tidak diminta Fey untuk menunggu Volna juga ogah.
Volna melihat mobil hitam yang pernah mengantarkannya sedang menepi. Sudah dia yakini bahwa mobil itu akan menjemput Xander. Tanpa berbicara apapun Volna langsung berjalan pergi dari sana, tugas dari Fey sudah selesai.
Volna menenteng tasnya di tangan kanan sembari pergi darisana. Sudah agak jauh berjalan tas Volna direbut secara paksa membuat pemilik tas langsung memekik terkejut.
"Pulang bareng. Gue enggak mau pegawai gue mati besok karena di begal." Volna baru hendak memprotes tetapi tas miliknya sudah dirampas begitu juga tangannya. Tangannya sudah digenggam erat dan ditarik untuk mengikuti laki-laki yang tadi hanya bisa marah-marah.
Volna mau tidak mau akhirnya masuk ke dalam mobil bersamaan dia duduk tas miliknya di lempar diikuti dengan Xander yang masuk ke dalam.
"Jalan, Pak." Pria paruh baya menatap dari kata spion yang berada di depan. Menatap kedua insan yang terlihat saling bermusuhan padahal sudah terikat rasa.
"Rumah saya di jalan –" ucapan Volna terpotong ketika sopir itu langsung menjelaskan alamat lengkapnya.
Selanjutnya, Volna tidak tertarik untuk membuka obrolan. Perempuan cantik yang masih memeluk tasnya itu mulai membuka ponselnya. Matanya membulat seketika ketika melihat pesan yang tertera disana. Mamanya berbuat ulah, lagi.
Seingatnya mamanya pernah meminta dirinya untuk menandatangani harta warisan. Kenapa sekarang dia bersikap manis seolah-olah dirinya adalah ibu yang baik?
Banyak hal yang Volna pikirkan. Kenapa dirinya ingat semuanya kecuali hubungannya dengan Xander? Volna sebenarnya merasa memang pernah ada suatu hubungan antara dirinya dengan manusia yang disebelahnya ini.
Bisa dilihat dari tingkah anak sekolah ataupun orang-orang disekitar Volna. Walaupun terus mengingatnya, Volna tidak menemukan apapun.
Terlalu lama melamun akhirnya sampai di rumah Volna. Cewek itu segera turun dan mengucapkan terima kasih ke sopir yang sudah bersedia mengantarkan nya lalu melihat ke arah Xander dan mengucapkan terima kasih juga. Setelah Volna keluar dari mobil Xander meminta untuk tidak menjalankan mobilnya dulu.
Jalanan ini tidak begitu asing, apa memang dia pernah ke sini? Xander menatap Volna yang lagi membuka pintu pagarnya dan terlihat ada orang asing yang keluar darisana.
Xander melihatnya dalam diam, hanya penasaran apa yang dilakukan perempuan itu sekarang. Xander melihat Alan yang berlari keluar sembari menangis sambil memeluk Volna terlihat ada pertengkaran dengan seorang wanita paruh baya disana.
Xander hendak pulang tidak ingin berurusan dengan keluarga Volna yang mungkin memang seperti itu. Keinginan untuk perginya terkubur dalam-dalam ketika melihat Volna ditampar dengan keras, Xander langsung keluar dari mobil menarik Volna untuk menyingkir. Menghalangi wanita paruh baya itu untuk memukul Volna lagi.
"Bagus, saya sudah baik-baikin kamu. Sekarang belajar jadi wanita tidak jelas?" teriakan dari wanita angkuh itu menggelegar ketika melihat Xander melindungi Volna yang memeluk Alan.
"Apa? Tidak berani untuk menjawab ucapan saya? Memang benar kamu itu wanita yang tidak berguna ayahmu mati itu juga karena kamu." Suara mamanya kembali terdengar, Volna dengan napas kasar mengepalkan tangannya.
"Maaf, ya Tan. Saya pikir dengan umur tante yang lebih dewasa bisa lebih banyak menggunakan otak dan harusnya kadar sopan santun juga lebih tinggi dari kita yang masih muda. Tidak ada orang tua yang yang mengucapkan ucapan seperti yang tante bicarakan tadi," ucap Xander sambil menggenggam tangan Volna yang sudah mengepal kuat.
"Kamu siapa? Salah satu pacar dia? Mau saja kamu dibodohin, sudah dapat apa saja atau mungkin kamu yang sudah memberi banyak uang untuk dia?" Volna menghempaskan tangan Xander yang mengenggamnya. Dirinya maju ke depan dengan emosinya yang sudah memuncak. Alan hanya bisa menangis di belakang karena kakaknya melepaskan genggaman tangannya.
"Saya enggak pernah minta bantuan sama anda lagi. Anda yang berkhianat dengan papa saya, lalu yang buat wanita baik-baik itu siapa? Saya atau anda sendiri? Kalau anda masih mau harta warisan dari papa saya yang sebenarnya saja anda tidak berhak, silahkan. Bawa pengacara anda ke sini, rebut harta warisannya kalau bisa. Saya tunggu, secara selingkuhan anda lebih kaya dari papa saya." Mamanya sudah marah, dengan kesal tangannya mulai naik ke udara hendak menampar perempuan di depannya sekali lagi dengan cekatan Xander menghalaunya dan mendorongnya hingga wanita paruh baya itu kelhilangan keseimbangan dan terjatuh.
Xander menarik Volna dan Alan untuk pergi, meminta keduanya untuk masuk ke dalam mobil meninggalkan Mamanya yang sudah marah-marah tidak jelas.
Volna mengusap wajahnya. Hatinya berasa diremas ketika mendengar mamanya kembali menjelekkan ayahnya. Alan tampak mendusel ke pinggang kakaknya, alasannya hanya karrna kakaknya menangis jadi dia ikut menangis.
"Lo enggak usah balik ke rumah itu, biar gue beliin lo rumah baru. Manusia kayak gitu enggak pantes buat lo sakit hati Na," ucap Xander sudah mengamuk sementara sopirnya hanya diam sembari terus menyetir.
"Gue enggak apa-apa kok. Makasih udah bantuin gue, mungkin lo bisa turunin gue dari sini? Biar gue pulang sama adik gue," ujar Volna setelah air matanya berhenti, meski suaranya masih bergetar.
"Gue tau lo keras kepala. Untuk kali ini aja gue bakal egois, lo enggak bisa balik ke rumah lo itu. Lo ikut gue ke rumah gue." Xander tidak habis pikir dengan cewek yang ada di sampingnya itu padahal tadi dia sudah menangis tidak ku jung berhenti setelahnya dia bilang bahwa dia tidak apa-apa.
"Kak Xan bisa bantu kak Na buat enggak sedih?" Alan yang wajahnya masih berlinang air mata berbicara kepada Xander.
"Alan, Kak Na enggak sedih kok. Ini sebentar lagi kita pulang ke rumah, ya. Tidur terus besok sekolah." Volna menegur Alan untuk tidak berbicara lebih lanjut, harusnya Xander tidak pernah melihat kejadian itu.
Setelah sampai di rumah Xander, Volna segera turun sambil menggengam tangan Alan sesekali menahannya agar tidak jatuh karena anak itu sudah terlalu lelah untuk berdiri.
"Terima kasih lagi atas tumpangannya. Gue pamit pulang dulu." Volna berbalik arah, hendak keluar dari rumah Xander.
"Udah malem, enggak harusnya lo pulang sekarang." Xander menarik tangan Volna yang bebas dan menuntunnya untuk masuk ke dalam.
"Gue udah bilang kalau gue baik-baik aja. Lo mau maksa gue buat masuk ke dalam lo mau ngapain? Mau pamer kalau lo punya rumah dan keluarga yang bahagia? Iya?" Volna dengan emosi membentak Xander. Dari awal di rumah sakit dirinya sudah iri melihat mamanya yang senantiasa berdiri di sampingnya dengan penuh kasih sayang.
"Gue enggak butuh rasa kasian lo," ucap Volna sambil menggengam tangan Alan mengajaknya untuk pulang ke rumah.
***
Lanjut? yes or no?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Favorite boy
Teen Fiction[Finish, tidak lengkap, segera terbit] "Gimana kalau kita pacaran?" Volna hanya ingin menjalani hidupnya tanpa ada masalah apa pun. Suatu saat, dia bertemu dengan Xander yang menurutnya menyebalkan selalu ingin mendapatkan hatinya. Berbagai masalah...