HAPPY READING!
Volna berbalik dan menatap malas ke arah Xander, sudah cukup dirinya mengajak bicara cowok itu walaupun sering diberi jawaban tidak mengenakan.
"Nih, gue tadi nemu di jalan." Xander menyodorkan boneka lumba-lumba itu dengan salah tingkah, berharap Volna mengetahui niat tulusnya.
Volna langsung mengambil boneka lumba-lumba biru laut dan memeluknya gemas. Bibirnya tersenyum lebar, menyukai pemberian Xander.
"Makasih, lo pasti ngabisin banyak uang dan waktu untuk ngambil ini," ucap Volna menatap Xander yang menggaruk belakang lehernya salah tingkah.
"Gue tadi bilangnya nemu di jalan enggak ngambil dari mesin capit." Xander mengelak ketika melihat senyum Volna yang bisa membuat dirinya diabetes.
Volna tertawa, "Iya, deh percaya banget." Nada bicara Volna terlihat bercanda seolah memang Volna tidak percaya sama sekali membuat Xander terus berbicara hal yang sama bahwa boneka itu dia pungut dari tempat sampah.
Xander dan Volna jadi kejar-kejaran, Volna masuk ke dalam kamarnya sebelum menutup pintu dia berbicara. "Malam Xan, makasih atas bonekanya." Pintunya di tutup membuat Xander tidak bisa masuk ke dalam.
Xander mengulum senyumnya dan masuk ke dalam kamar dengan salah tingkah. Sesampainya di kamar dan menutup pintu Xander langsung bergelung di kasur dan mengguling-gulingkan badannya.
Di sisi lain, Volna duduk dan melihat boneka lumba-lumba itu. Dirinya tersenyum senang, tiba-tiba Volna tersadar akan sesuatu, buru-buru dia mengambil tasnya dan melihat gantungan kunci lumba-lumba yang sudah bertengger di tasnya lumayan lama.
"Benar enggak, ya." Volna melepaskan gantungan kunci lumba-lumba berwarna merah muda itu dan keluar kamar. Mencari Xander yang tidak kunjung ditemukan.
"Nyari apa, Na?" tanya Mama Xander yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat Vokna yang seperti mencari sesuatu.
"Saya nyari Xander, Tante. Mungkin dengan ngobrol sama dia ingatan saya bisa sedikit-sedikit terbuka." Volna memberi penjelasan dan Mama Xander hanya mengangguk paham.
Wanita paruh baya itu menunjuk ke arah pintu kamar yang terlihat menyala. Sementara Volna jadi ragu untuk mencari Xander, secara kalau sudah masuk ke dalam kamar bukannya manusia yang berada di dalam sudah tidak mau diganggu?
"Enggak apa-apa. Kalau kamu yang muncul paling dia salah tingkah doang, enggak gigit. Sana, ketuk aja pintunya." Volna akhirnya memberanikan dirinya, mengetuk perlahan beberapa kali.
Setelah ketukan yang ke tiga, pintu dibuka Volna disapa dengan angin dingin dari AC yang ada di dalam sana dan wajah Xander yang terlihat kesal, merasa terganggu sepertinya.
"Kenapa?" Xander menatap Volna kesal, wakahnya tambah ditekuk saat melihat Volna yang berada di depannya.
"Gue mau minta bantuan lo, setidaknya dengan jawaban lo mungkin gue bisa inget sesuatu." Xander melipat tangannya lalu menatap Volna menunggu Volna berbicara.
"Masalah lumba-lumba. Gue ngerasa kita beli gantungan kunci ini bareng, iya atau enggak?" Volna menunjukan gantungan kuncinya sementara Xander hanya melihat ke arah gantungan kunci itu lama.
Dirinya ingin jujur, tetapi dia masih takut kalau ternyata Volna akan kecewa dengan dirinya di masa depan.
"Lo, mau inget-inget masalah itu lagi?" Xander malah bertanya dan Volna mengangguk dengan pasti.
"Gue mau ngasih tau, kalau ingatan gue udah balik dan gue berharap lo enggak inget karena kemungkinan besar lo bakal enggak mau lihat gue," ucap Xander akhirnya mengakui. Dirinya berharap setelah itu Volna tidak mengungkit-ungkit lagi.
"Xan, bukannya lebih baik kalau gue tau dari mulut lo? Kalau suatu saat gue inget apa enggak lebih ribet?" Xander terdiam, ucapan Volna benar adanya. Bukannya dengan melupakan Xander bisa tetap ada di samping Volna bahkan mungkin Volna akan lebih benci ketika diri tau
"Oke, gue yang bikin kita kecelakaan. Gue yang waktu itu nyetir enggak bener dan bikin kita lupa ilangan. Gue yang lalai dan bikin lo luka parah. Gue yang enggak ngecek keadaan mobilnya dulu sebelum ngajak lo pergi yang bikin kepala lo enggak dapat kantong udara. Gue Na, itu semua karena gue." Volna terdiam lalu memeluk Xander yang lebih tinggi darinya, perempuan itu berjinjit dan menepuk pelan punggung Xander.
"Itu bukan salah lo Xan, lo nggak bisa mencegah hal itu terjadi. Walaupun kita nggak ketemu kita mungkin akan mengalami hal yang sama." Xander menggeleng di pelukan Volna, bahkan mungkin ini pelukan terakhirnya.
"Gue yang lalai buat ngejagain lo. Jadi, gue ngerasa enggak pantes aja ada di sekitar lo dengan kebenaran yang terjadi." Volna melepas pelukan yang sedari tadi masih tertaut.
"Perasaan setiap hari lo galak, kenapa sekarang sedih gini?" Volna terkekeh lalu mencubit pipi Xander gemas.
"Xan, enggak baik kalau lo selalu nyalahin diri sendiri. Harusnya gue enggak sih yang bersyukur ketemu lo? Gue yang selalu lo perhatiin dan dapat kasih sayang dari tante. Kenapa gue harus marah sama sumber kebahagiaan gue sendiri?" Xander cemberut dan memeluk Volna, lagi.
"Jadi, Nana enggak bakal ninggalin Xanxan?" Suara gemas nan lucu membuat Volna terkekeh. Xander yang seperti ini malah jadi seperti Alan yang meminta untuk mengajari materi yang tidak dia ketahui.
"Xan, besok sekolah bukannya gue harus balik ke rumah, ya?" tanya Volna setelah Volna hendak menutup pintu kamarnya.
"Mama udah minta orang buat ambil barang-barang kamu. Besok berangkat sekolahnya bareng, ya?" Volna tersenyum lalu mengangguk. Menutup pintu kamarnya hingga batang hidung Xander sudah tidak terlihat.
"Malam, Nana. Semoga Nana bahagia terus, soalnya kalau Nana bahagia Xander juga, hehe." Xander berbicara sendiri di depan pintu dan pergi dari sana masuk ke dalam kamarnya dan tidur sambil bermimpi indah.
Volna mendengarnya dari balik pintu. Perempuan itu tersenyum, Xander adalah laki-laki yang mempunyai sifat yang berubah-ubah. Padahal dari kemarin dirinya selalu dimarahi oleh laki-laki sekarang malah laki-laki itu jadi seperti kucing, manja.
"Semoga Xander juga bahagia, karena kalau Xander bahagia pasti bisa bahagiain Volna. Malam Xanxan." Volna melihat ke arah Alan yang sudah terlelap, membenahi selimutnya yang terlihat berantakan. Alan mendengus sembari mengerutkan dahinya, Volna menekannya dan mengelus kepala Alan agar bisa tidur dengan tenang setelah Alan tenang Volna duduk di kasurnya dan merebahkan tubuhnya sendiri menarik selimut miliknya dan berharap ingatannya besok kembali seutuhnya.
Volna tau apa ketakutan Xander. Dirinya hanya takut kalau Volna tidak bisa menerima Xander yang seolah selalu menempatkannya di kindisi berbahaya. Xander tidak tau, kalau sebelum dirinya bertemu dengan laki-laki itu hidupnya jauh lebih berbahaya. Volna melihat ke langit-langit kamar tidur bernuansa putih itu dan memejamkan matanya, menunggu hari esok yang akan datang sebentar lagi.
Setidaknya, masalah ini sudah selesai, bukan? Atau mungkin kedepannya akan ada masalah baru? Volna tidak tau. Yang pasti, Volna sekarang bahagia dan akan selalu bahagia di kemudian hari.
***
Hai, cerita ini belum berakhir, namun MFB akan terbit sehingga kalian bisa baca cerita lengkapnya di buku fisik yang akan datang.
Thank you! 🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
My Favorite boy
Teen Fiction[Finish, tidak lengkap, segera terbit] "Gimana kalau kita pacaran?" Volna hanya ingin menjalani hidupnya tanpa ada masalah apa pun. Suatu saat, dia bertemu dengan Xander yang menurutnya menyebalkan selalu ingin mendapatkan hatinya. Berbagai masalah...