MFB 44 - Restu

25 3 50
                                    

HAPPY READING !

Volna menatap Xander dengan khawatir sementara laki-laki itu diam dan langsung masuk ke dalam kamarnya. Mama Xander juga berbicara dengan langsung mendekati sang ayah berbicara sendiri.

Volna mendekati kamar Xander dan mengetuk pintu kamarnya sebanyak dua kali. Tidak ada jawaban, Volna kembali mengetuk dan perlahan pintunya terbuka.Tangan Volna ditarik masuk ke dalam, Volna melihat Xander yang mengusap wajahnya dengan handuk.

"Sakit?" tanya Volna perlahan, ingin melihat luka yang ada di wajah Xander yang tertutup oleh Handuk. Xander menolak dirinya memalingkan wajahnya, menghindari tangan Volna yang terjulur.

"Papa kamu marah tentang kita, ya?" tanya Volna lagi, kemudian memundurkan tangannya ketika tahu bahwa Xander tidak ingin dilihat lukanya. Xander menatap Volna yang tampak khawatir namun, tidak ingin menjawab apapun.

"Emang harusnya aku pamit dulu enggak main nyelonong gitu aja, besok aku bakal pindah. Jadi, bilang ke papa kamu aja, biar kamu enggak dimarahi lagi maaf, ya." Volna berbicara lagi, kemudian Xander tanpa bersuara apapun langsung memeluk Volna yang tampak tidak enak hati.

"Kenapa kamu enggak berusaha buat bicara dulu sama papa aku ? Kenapa kamu langsung mutusin buat pergi ? Kamu enggak sayang aku, ya ?" Xander masih memeluk Volna sehingga dia tidak bisa melihat wajah dan ekspresi Xander.

Volna berusaha untuk melepaskan pelukan dari Xander ingin menjawab dengan mata yang saling beradu, bukan yang membelakangi seperti ini. "Kamu mau durhaka ? Kalau orang tua bilang enggak itu ya enggak, Xan. Jangan dibantah. Jangan cuma karena aku terus kamu jadi ngelawan orang tua kamu," ujar Volna akhirnya menjawab tanpa melihat wajah Xander sama sekali.

"Jadi, kalau direstuin sama orang tua aku, kamu tetep mau jadi pacar aku?" tanya Xander masih terus memeluk Volna bahkan dekapannya semakin erat.

"Kenapa enggak?" jawab Volna dengan jawaban reflek dan cepat membuat Xander diam-diam menyunggingkan senyumannya.

Volna masih dalam posisi yang sama, menepuk pundak laki-laki itu untuk berusaha menenangkan walaupun tampaknya laki-laki itu hanya manja saja, tidak sedang sedih atau apapun.

Deheman seseorang membuat Volna dan Xander terkejut dan refleks melepaskan pelukan mereka. Xander cemberut sementara Volna sudah pucat pasi.

"Kamu ikut saya," ujarnya membuat Volna kelabakan dirinya yang ditunjuk oleh ayah Xander membuat Volna buru-buru berdiri dan mengikutinya dari belakang dengan kaki dan tangan yang gemetaran karena ketakutan.

Xander hanya melihatnya Volna yang mengekor ayahnya untuk pergi mengikutinya. Mamanya sudah berdiri di sebelah Xander, melipat kedua lengannya di dada ikut. melihat Volna yang pergi bersama suaminya.

"Aman, kah ?" tanya Xander kemudian menatap mamanya agak khawatir walaupun dirinya yakin rencana ini akan berhasil. 

"Aman. Tenang aja, kalau ayahmu nakal nanti mama marahin," ujarnya mamanya kemudian pergi dari kamar mereka ingin melakukan kegiatan yang lainnya. 

"Ma, ayo nguping," ujar Xander sembari menarik lengan Mamanya memaksa untuk berjalan melawan arah kaki mamanya. Dirinya sebenarnya juga percaya dengan papanya tetapi, Xander hanya takut pacarnya itu mengalami masalah atau dipersulit oleh papanya. 

Anak dan ibu itu mulai menempelkan telinga mereka ke pintu berharap suara percakapan yang ada di dalam terdengar sampai luar. 

"Kedengeran ?" tanya mamanya bertanya pasalnya dirinya tidak mendengar suara apapun. 

Xander menggelengkan kepalanya. Dirinya juga tidak mendengar suara apapun dari dalam ruangan ayahnya tersebut. 

"Namanya siapa ?" tanya ayahnya dengan nada datar Volna benar-benar berasa diintrogerasi oleh kepolisian. Lututnya sudah bergetar hebat.

"Volna, Om."

"Kenal sama Xander berapa lama," tanya ayah Xander kembali. Volna rasanya ingin pingsan saja, mau lenyap rasanya.

"Sekitar 4 sampai 5 bulan sepertinya, Om." Volna menjawab lagi, bahkan dirinya tidak menghitung sejak kapan mereka berpacaran.

"Kalau jawab yang pasti, dong. Jangan sepertinya." Ayah Xander menjawab dengan jutek membuat Volna tambah gemetaran.

"Maaf, Om." Volna menjawab lagi, kali ini bahkan getarannya sampai di kakinya yang tidak bisa berhenti bergerak.

"Kamu mau apa dari anak saya?" tanya ayahnya lagi, dia sudah melihat bahwa orang yang ada di depannya bergetar walaupun agak iba dirinya harus menuntaskan pembicaraan ini.

"Saya enggak mau apa-apa Om. Saya mau pulang aja sekarang," ujar Volna berusaha merapikan rambutnya dengan tangan yang sudah bergetar sedaritadi.

"Udah berapa lama tinggal di sini?" tanya  orang tua itu lagi tidak peduli bahwa Volna sudah tampak putus asa dan ingin menangis karena aura kejam dari ayah Xander.

"Setelah saya di rawat di rumah sakit sampai sekarang, Om." Volna menjawab dan ayah Xander mengangguk paham.

"Ya udah, saya juga tidak masalah dengan hubungan dan keberadaan kamu serta adik kamu di rumah ini," ujar Ayah Xander menganggukkan kepalanya sendiri.

"Iya, Om ini setelah ini saya kel–" ucapan Volna terpotong begitu menyadari sesuatu. Volna mendongak dan ayah Xander menaikkan alisnya bingung dengan raut wajah Volna.

"Sa–saya boleh di sini, Om? Terus, saya boleh pacaran sama anak Om?" tanya Volna meminta konfirmasi. Ayah Xander hanya menganggukan kepalanya. Volna dengan tangan bergetar mengulurkan tangannya meminta jabat tangan.

Ayah Xander yang mengerti, memberikan jabat tangan, agak terkejut begitu Volna menempelkan dahinya ke tangannya.

"Kalau Xander bahagia sama kamu. Saya juga bisa apa?" ucap ayah Xander, kemudian tersenyum senang.

"Jangan takut sama saya. Saya enggak segalak itu, jangan bilang kalau kamu takut sama saya, ya nanti Anggin marah kepada saya," ujar ayah Xander sembari menggaruk kepalanya kikuk, takut kalau dirinya akan dimusuh oleh istrinya tercinta.

"Iya, makasih Om. Saya pamit dulu." Volna menundukkan kepalanya kemudian berjalan menuju ke arah pintu keluar.

Volna membuka pintu dan terkejut karena ada Xander dan mamanya dalam posisi mengupingnya. Sepersekian detik mereka saling tatap menatap berserta dengan ayah Xander juga.

"Xander kamu sedang apa?" tanya ayahnya dengan nada datar membuat Xander salah tingkah.

Xander menjawab dengan gagap dan panik sementara Anggin pura-pura untuk mengelap sesuatu dengan tangannya sendiri.

"Tadi mau ke kamar, Pa. Terus kebetulan lewat." Xander menjawab dengan bingung dia tidak punya alasan lainnya hanya itu saja yang terpikirkan.

"Walaupun papa jarang pulang. Seinget papa kamar kamu berlawanan arah dengan ruangan papa," jawab Ayah Xander membuat Xander menciut tidak bisa berkata-kata lagi.

Xander nyengir kemudian menyenggol mamanya, meminta pertolongan. Anggin tampak tidak mau diganggu dan terus mengelap sebuah vas yang ada di dekatnya memperhatikan detailnya dan pura-pura melihat isi di dalam vas.

"Anggin sayang." panggil ayah Xander membuat yang dipanggil langsung meletakkan vasnya perlahan kemudian melihat ke arah suaminya.

Wajah Anggin berubah menjadi galak, "Apa? Volna sama Xander keluar. Mama mau ngobrol sama papa kamu ini," ujarnya dengan galak. Ayah Xander menaikkan alisnya bingung mengapa tiba-tiba istrinya marah lagi kepadanya?

Pintu ditutup dan Anggin tampak berkacak pinggang di depan menatap galak ke arah sang suami.

"Aku cuma manggil kamu, loh Sayang." Ayahnya mulai membela diri sementara istrinya itu mendekat kemudian memeluknya dengan erat hal yang selanjutnya terjadi kita tidak perlu tahu yang pasti Xander dan Volna sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua Xander, hanya itu yang penting sekarang.

***

Lanjut? Yes or No?

My Favorite boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang