MFB 41 - Dia datang

56 9 49
                                    

HAPPY READING!

Volna bangun dan mengusap wajahnya agar cepat tersadar dirinya harus segera melakukan hal-hal yang bisa dilakukannya segera. Karena dirinya menumpang tidak enak juga kalau malah bangun terlalu siang.

"Loh, kamu kenapa bangun sepagi ini?" Mama Xander yang terlihat santai menggunakan baju santai miliknya duduk di meja makan sembari membaca buku dan meneguk teh hangat.

"Biasanya bangun jam segini, Tan. Oh, iya Tan sama sekalian saya izin pulang dulu. Mau ambil barang-barang punya Alan sama punya saya sendiri." Mama Xander tersenyum senang mencegah Volna juga untuk pergi.

"Enggak usah, sudah di pindah ke sini semua. Kamu tinggal ambil seragam kamu sama Alan aja sisanya nanti biar dirapikan di kamarmu." Volna menatap tumpukan dus yang tersusun rapi di depan televisi. sudah diberi nama semua tentang isi yang di dalam kardus.

Volna mengangguk perempuan itu berjalan mengamati kardus-kardus yang dibawa. Mencari bagian seragam dan membukanya. Setelah itu dirinya membangunkan Alan, meminta anak itu untuk mandi.

Sementara Volna mengamati kardus itu kembali melihat satu persatu tulisan di sana dan tidak menemukan barang yang dia cari.

"Loh, Volna enggak mandi?" tanya Mama Xander setelah dirinya selesai dengan tehnya.

"Saya lagi nyari barang, Tan. Tetapi, enggak ada sama sekali di tulisan ini." Mama Xander ikut berjongkok mengamati tulisannya satu persatu.

"Nyari apa memang?"

"Album foto, Tan." Mama Xander hanya mengangguk lalu memperhatikan seluruh kardusnya. Memang tidak ada, kemungkinan besar tertinggal.

"Kamu mandi dulu. Tante bakal bantu cari." Volna jadi tidak enak hati, walaupun akhirnya diyakinkan oleh Mama Xander dengan jam dinding di sana. Sudah hampir waktunya berangkat.

Xander keluar dari kamarnya dan melihat Mamanya sedang berjongkok menatap tumpukan kardus sesekali menyentuhnya.

"Nyari apa Ma?" tanya Xander yang sudah mendekat menatap penasaran. Mamanya berdiri lalu melipat tangannya di depan dada.

"Ini, Volna nyari album fotonya. Tapi, kayaknya nggak kebawa deh. Kayaknya penting banget." Xander menatap tumpukan kardus itu kembali.

"Kenapa enggak tanya ke Sherly? Dia yang packing, kan?" Wanita paruh baya itu langsung tersadar. Benar juga mengapa dirinya tidak kepikiran?

Segera saja wanita paruh baya itu memanggil asisten pribadinya, bertanya langsung tentang album foto yang seharusnya ikut dibawa.

"Saya tidak menemukan album foto itu Nyonya." Sherly menggeleng, tanda bahwa dirinya sama sekali tidak menemukan barang yang dimaksud.

"Ya, udah nanti aja diambil ke rumahnya Nana," ucap Xander memberi keputusan dan diangguki oleh mereka berdua.

Alan berlari kecil dan berteriak heboh. "Selamat Pagi Mama tante!" Dengan seragam sekolah yang sudah melekat, rambut berantakan karena belum di sisir dan tas ransel yang tadi sudah disiapkan oleh Volna Alan tambah bersemangat.

"Kenapa jadi manggil Mama tante, Alan? Biasanya juga manggilnya Mama." Alan berpikir dan menatap ke langit-langit memanyunkan bibirnya.

"Karena Kak Na, manggil Mama Tante itu tante. Jadi Alan manggilnya Mama tante aja," ucap bocah sekolah dasar itu terkesan blibet. Walaupun Mama Xander akhirnya mengerti.

"Gimana kalau kamu bujuk Kak Na buat manggil saya Mama? Nanti Alan manggil saya Mama juga enggak perlu mama tante." Alan memajukan bibirnya, agak bingung.

"Nanti Alan bilang sama Kak Na. Mama tante, Kak Na dimana?" Alan menurunkan tas yang sedari tadi dia gendong beralih dia seret.

"Lagi mandi, Alan ke meja makan dulu, yuk ?" Alan di dudukan di kursi, Mamanya dan Xander saling mengoper piring yang sudah berisi nasi.

Mamanya mengambilkan Xander sayur dan lauk. Hari ini menunya adalah sayur bayam dengan sosis goreng dan perkedel. Ketika Volna keluar dengan seragam lengkap, piring makan sudah siap.

"Pagi Nana cantik." Xander tersenyum salah tingkah, padahal dirinya sendiri yang memuji dirinya sendiri yang salah tingkah.

"Cantik, cantik. Mama aja enggak pernah dibilang cantik." Xander menatap ke arah mamanya lalu cengegesan.

"Nanti kalau mama Xander puji, Papa ngambek seminggu. Nanti salah Xander lagi," keluh Xander sembari mengambil sendok dan garpu. Mengelapnya dan memberikannya urut mulai dari piring Mamanya, Volna, Alan dan dirinya.

"Enggak kok, saya enggak ngambek seminggu." Seluruh orang yang berada di meja makan langsung menatap ke sumber suara.

Laki-laki dengan kemeja dan jas yang sudah dilonggarkan dasinya itu menatap ke arah Volna dan Alan. Dua makhluk asing yang tidak pernah ada di rumahnya.

"Siapa?" Volna yang merasa ditatap langsung berdiri. Alan mengikuti kakaknya untuk mendekati pria yang baru datang.

"Saya Volna dan ini adik saya, Alan." Volna berbicara perlahan, menjelaskan. Mama Xander berdiri dan menatap suaminya meminta untuk tidak memberikan tatapan galak.

"Pa, kasian doang Volna sama Alan jadi takut gini." Pria di sana diam, lalu berjalan melewati kedua adik kakak itu menatap Xander yang masih duduk di bangkunya.

"Pulang sekolah kamu ngobrol sama papa." Xander mendengus sementara mamanya tidak jadi makan, meminta mereka bertiga untuk menghabiskan sarapannya dan berangkat. Dirinya harus mengobrol dengan suaminya.

Di perjalanan Alan diberhentikan dahulu, setelahnya hanya ada Volna dan Xander di sana. Xander menatap Volna yang sedaritadi diam. Tingkahnya seperti biasa, tidak bisa ditebak.

"Vol, enggak usah takut sama Papa. Dia cuma wajahnya aja sinis-sinis sok garang. Habis lihat Mama pasti jinak." Volna menatap Xander yang sedari tadi menatapnya, tersenyum tipis.

"Enggak takut, kok. Cuma enggak enak aja. Pemilik rumahnya dateng gue malah seenaknya numpang." Volna tersenyum lalu menatap Xander yang menatap tidak suka.

"Aku-kamu. Jangan gue-lo dong. Kita, kan pacaran." Volna menatap Xander dengan mata memincing lalu mencubit kedua pipi Xander bersamaan.

"Gue enggak ngerasa lo nembak gue, kok." Volna menangkup kedua pipi Xander lalu mencubitnya, membuat kedua pipinya memerah.

"Nanti gue tembak, lagi." Xander berbicara dengan nada sungguh-sungguh sementara Volna menatap Xander dengan tatapan tidak percaya.

"Terserah," ucap Volna sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya hendak menatap ke arah jendela namun tangannya ditarik, Xander memeluk lengannya dengan erat.

"Nana, nanti mau minta jadwal susulan, enggak? Biar bareng ngerjainnya." Volna mengangguk lalu menatap kepala laki-laki yang memeluk lengannya erat.

"Iya, mau minta, sih. Tapi enggak mau susulannya bareng lo," ucap Volna dengan nada ketus membuat Xander cemberut lalu menatap Volna sedih.

"Kenapa? Xanxan ada salah, ya?" tanya Xander menjadi anak kecil membuat Volna risih, dirinya mendorong Xander meminta untuk melepaskan pelukannya.

"Dulu aja marah-marah. Ngapain harus satu ruangan." Volna pura-pura ngambek, dirinya juga kesal akhir-akhir kemarin Xander galak padahal Volna tidak merasa ada salah tetapi langsung disembur oleh Xander dengan segala caci makinya.

"Itu, enggak sengaja. Sengaja sih, tapi udah enggak kok." Xander menatap ke arah Volna yang sekarang melihat kedua tangannya di depan dada, mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Enggak dimaafin."

"Nana …."

***

Lanjut? Yes or No?

My Favorite boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang