22 | TELAH MEMBAIK

3.7K 627 36
                                    

Nora menatap cokelat di hadapannya. Seperti biasa diberi ikatan pita dan si pemberi adalah Milana. Ini adalah cokelat kedelapan sejak Milana menjadi muridnya. Setiap jadwal kelasnya, gadis kecil itu akan memberinya cokelat dengan senyumannya yang sangat menggemaskan membuat Nora tak sampai hati menolaknya.

Pernah satu waktu, Nora menolak membuat gadis kecil itu bersedih dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya Nora pun menerima cokelat pemberian gadis kecil itu. Telah menjadi biasa menerimanya. Berpikir, mungkin gadis kecil ini menganggap memberi cokelat padanya sebagai ungkapan terima kasih.

"Jemputan Milana belum datang, ya?" tegur Nora karena Milana masih duduk di bangku yang ada di teras rumahnya. Gadis kecil itu mendongak dan cemberut. Teman-temannya telah pulang semua.

Nora pun memutuskan menghubungi orang tua Milana. Hingga deringan ketiga sambungan terhubung. Dengan sapaan lembut Nora bicara dan menyampaikan jika belum ada yang menjemput Milana.

Nora mendengar dengan tenang.

Ternyata nomor yang ia hubungi adalah nomor telepon Nenek Milana. Karena tertera di kontak anak muridnya itu, membuat Nora mengira jika nomor tersebut milik ayah atau ibu Milana.

Nenek Milana mengatakan jika biasanya Milana dijemput oleh sang om. Jadi, si Nenek pun mengatakan akan menelepon putranya dulu. Nora menunggu, hingga mendapat telepon dari Nenek Milana lagi, di seberang Nenek Milana meminta tolong padanya agar ia menjaga Milana sebentar karena omnya sedang sibuk dan terlambat mengantar.

Nora pun menyanggupi. Usai menutup sambungan telpon, Nora menatap Milana yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan cemberut. Sikap ceria anak itu hilang.

"Kata Nenek, Om Milana telat jemputnya. Jadi, Milana tunggu di sini sebentar ya sama Miss?" ujar Nora lembut seraya duduk di sebelah Milana. Gadis kecil itu mengangguk masih dengan ekspresi sedih. "Em ... Milana mau sesuatu, gak? Mau ngemil?" Ajak Nora.

"Miss Nora punya yoghurt? Mila suka minum yoghurt."

Nora pun mengajak Milana masuk ke dalam rumahnya dan naik ke lantai dua. Anak itu duduk manis di sofa seraya menunggu Nora mengambil minuman youghurt.

"Miss Nora tinggal sendiri di sini?" Kedua kaki Milana yang menggantung di sofa diayun-ayunkan. Menatap Nora yang kini duduk di sampingnya.

"Iya."

"Miss gak takut tinggal sendiri?" Mata gadis kecil itu membulat dengan pandangan tercengang. Nora tersenyum geli.

"Enggak dong. Miss kan udah gede."

"Ih gak kayak Om Ijal. Dia penakut." Milana terkikik. Nora kembali tersenyum. Merasa lega karena Milana tak lagi terlihat sedih. Gadis kecil itu kembali ceria yang menceritakan banyak hal. Mulai dari kehidupan sekolahnya, teman-temannya, Nenek dan Omnya. Tak ada ibu dan ayah yang Milana ceritakan membuat Nora merasa heran, sekaligus penasaran.

"Ibu ... dan ayahnya Milana ke mana?"

"Ibu udah meninggal. Kalau Bapak, gak tau ke mana. Mila gak pernah ketemu sama Bapak. Kalau Mila tanya Nenek, pasti Nenek jawab Bapak pergi cari uang yang jauh. Tapi, kalau Mila tanya Om Ijal, Om jawab kalau Bapak udah mati kayak Ibu. Tapi, tapi Mila gak pernah ke kuburan Bapak, cuma kuburan Ibu terus kalau abis lebaran."

Nora merasa iba menatap Milana yang bercerita tanpa beban. Namanya juga anak-anak. Tentunya belum mengerti tentang arti kehilangan. Yang Nora tebak, jika bisa saja ibu Milana meninggal saat usia Milana sangat kecil.

Nora memutarkan tayangan anak-anak pada Milana membuat gadis kecil itu fokus menonton. Sesekali tergelak riang saat ada adegan yang lucu.

Beberapa saat kemudian, suara denting bel berbunyi. Nora pun mengajak Milana untuk turun, menduga jika Om Milana yang menekan bel. Seperti dugaannya.

I HATE MENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang