66. TEMAN

2K 171 17
                                    

Byuuur

Untuk kesekian kalinya, wajah Aldian disiram segelas air oleh calon partner ritual. Aldian benar-benar tak menyangka jika mencari partner ternyata tak semudah yang ia bayangkan.

"Dasar bajingan!" hujat seorang gadis dengan wajah marah. Kemudian, gadis itu pergi begitu saja.

"Tunggu! Tunggu!" cegah Aldian. "Gue bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang lo kira."

Plaaak

Bukan hanya sekadar guyuran segelas air, tapi Aldian juga menerima tamparan dari gadis itu. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Tentu saja sakit, juga perih. Seumur hidup, ia baru mendapatkan tamparan sehebat itu.

"Yaaah lagi-lagi nggak mau diajak ritual. Ternyata susah banget ya ngajak orang yang nggak dikenal buat ngelakuin hal-hal yang agak aneh seperti ritual. Kalau dipikir-pikir, ya ritualnya emang aneh. Mana pakek menuntut perawan sama perjaka pula. Manusia mana yang nggak mikir aneh-aneh?"

Aldian menunduk. Ia tersadar betapa pentingnya arti Kafi baginya. Tanpa Kafi yang berkepribadian supel, ia merasa sangat kesulitan merekrut orang untuk ritual penyucian tiga tempat terlarang.

"Ternyata gue bukan siapa-siapa tanpa Kafi. Gue bahkan nggak bisa merekrut satu orang pun buat ritual. Yang ada, gue malah kena siram," gumam Aldian dalam hati.

"Mungkin sebaiknya gue minta maaf ke Kafi. Dan ... mungkin gue juga harus mengakui kalau gue salah dan terlalu egois. Menyucikan tiga tempat terlarang itu memang penting karena menyangkut nyawa seseorang. Tapi bagi Kafi, kuliah lebih penting." Aldian menimbang-nimbang.

Setelah berpikir cukup lama, Aldian memutuskan untuk pergi ke rumah Kafi. Sesampainya di sana, Aldian tidak langsung mengetuk pintu. Ia terdiam sejenak karena ragu. Rasa egonya masih menahan tangannya untuk sekadar mengetuk pintu.

"Ke ... kenapa jadi gue yang minta maaf? Kan yang salah Kafi. Bukan gue. Pemikiran Kafi yang terlalu picik. Dia cuma mengutamakan kuliah padahal nyawa manusia lebih penting daripada itu semua," pikir Aldian.

"Tapi ... gue butuh dia buat ngelakuin ritual itu. Ya udah deh. Gue buang dulu gengsi gue." Aldian memutuskan. Dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah Kafi.

Tok tok tok

Tok tok tok

Tok tok tok

Cukup lama Aldian mengetuk pintu, barulah ia samar-samar mendengar suara sahutan dari dalam rumah. Ya! Siapa lagi kalau bukan suara Kafi.

Mata Kafi melebar sejenak ketika melihat seseorang yang ada di depan pintu rumahnya. Aldian, sahabat yang paling ia sayangi. Kalau boleh jujur, selama beberapa hari ini, Kafi selalu memikirkan nasib Aldian. Bertanya-tanya apakah Aldian sudah mendapatkan partner atau belum. Jika sudah, apakah ritualnya berhasil atau tidak. Ya! Kecemasan itu selalu menyelinap di benak Kafi.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Kafi ketus.

"Main ke rumah teman, emangnya nggak boleh?" Aldian langsung masuk ke dalam rumah Kafi tanpa permisi, kemudian ia duduk di sofa.

"Kalau lo mau maksa gue ngelakuin ritual, gue nggak mau. Gue mau fokus kuliah dulu."

Tidak ada sahutan dari Aldian.

"Kuliah gue lebih penting daripada hal lain buat saat ini," imbuh Kafi. "Gue nggak peduli sama nyawa orang lain. Kebahagiaan nyokap bokap gue adalah hal terpenting."

"Iya. Gue ngerti sekarang," timpal Aldian, lalu ia berdiri. "Gue bakal hargai keputusan lo, Kaf."

Kedua alis Kafi terangkat. "Jadi, lo nggak bakal maksa gue buat ngelakuin ritual lagi?"

"Untuk saat ini, gue hargai keputusan lo buat memprioritaskan kuliah. Tapi ... gue masih butuh bantuan lo."

"Bantuan?"

"Iya. Gue butuh bantuan lo buat nemenin gue ngelakuin ritual itu, Kaf."

"Emangnya lo nggak bisa nyari orang lain?"

Aldian spontan menunduk malu. Semua tebakan Kafi benar adanya. Tidak ada seorang pun yang berhasil Aldian rekrut.

"Iya, nggak ada seorang pun yang mau ikut ritual penyucian. Semuanya mengira kalau gue ini orang aneh," ungkap Aldian. "Padahal nggak ada sedikit pun niat buat melakukan tindakan kriminal. Tapi mereka semua malah mengira yang bukan-bukan."

Kafi terkikik mendengar curahan hati sahabatnya itu. "Nah, sekarang lo baru tahu kan rasanya tanpa gue?"

"Idiiih! Sekarang bukan saatnya tertawa, Kaf!"

"Lah kalau nggak ketawa, terus gue harus apa? Guling-guling?"

Aldian memasang muka datar. "Nggak lucu."

"Menurut gue lucu kok."

"Garing!" sanggah Aldian, sukses membuat mulut Kafi terlipat.

"Ya elah nih anak tetep aja kagak bisa diajak bercanda!"

"Oke. Gue langsung to the point aja. Sekarang, lo udah maafin gue nggak?" tanya Aldian tanpa basa-basi.

"Iya deh iya. Gue maafin elo. Tapi gue nggak mau lo ajak ritual saat ujian semester kayak gini."

"Tapi ... lo mau kan, kalau gue ajak ritual setelah ujian semester berakhir?" tanya Aldian memastikan.

Kafi mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju untuk membantu jika itu tidak menggangu aktivitas perkuliahannya.

"Oke. Kalau gitu, kapan lo selesai ujian?" tambah Aldian.

"Mungkin Minggu depan."

"Oke. Kalau gitu, gue mau nyari cewek perawan dulu dan selama gue nyari, gue usahain nggak ganggu aktivitas belajar lo. Ya siapa tahu dapet."

"Al, setelah ujian, gue pasti bantu lo kok." Kafi meraih pundak Aldian. "Sebenarnya gue juga nggak mau ada korban lagi. Tapi ... ya mau gimana lagi? Gue juga punya urusan pribadi yang perlu gue selesaikan."

"Iya. Gue ngerti kok."

Setelah berbaikan, Kafi menyiapkan secangkir kopi untuk Aldian. Tak terasa cukup lama mereka tidak ngopi bareng sambil mengerjakan tugas kuliah. Meski sedikit canggung, tapi mereka akhirnya bisa berkomunikasi seperti sedia kala.

"Jadi ... rencana lo gimana?" tanya Kafi.

"Ya rencana gue seperti biasa," jawab Aldian. "Gue mau usaha dulu nyari cewek yang mau ikut ritual. Ya itung-itung sambil nunggu lo kelar ujian."

"Ya semoga lo cepet dapat ya. Entar kalau gue kelar ujian, gue pasti bakalan bantuin lo."

Setelah cukup lama berbincang-bincang dengan Kafi, Aldian memutuskan untuk pulang. Hampir saja ia lupa untuk memberi makan Redi.

Penghuni AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang