"Hmm ... apa gue DM balik aja ya?" Aldian menimbang-nimbang, siapa tahu perempuan muda yang bernama akun Maya Cintyana itu mau bila diajak ritual penyucian.
Redi : Kamu anak indigo ya?
"Semoga aja segera dibalas," ucap Aldian setelah mengirim pesan.
Belum sampai layar ponsel padam, tiba-tiba ada balasan cepat dari akun perempuan muda yang bernama Maya Cintyana itu.
Maya_Cintyana : Iya, Kak.
Redi : Kalau lo beneran bisa lihat hantu, apa kita bisa ketemuan?
Maya Cintyana : Kamu bukan Kak Redi ya?
Aldian terlonjak kaget setelah membaca pesan dari perempuan bernama akun Maya Cintyana itu. Bagaimana dia bisa menebak kalau saat ini ia bukan berkomunikasi dengan Redi, melainkan dengan Aldian.
Redi : Kok lo tahu?
Maya Cintyana : Cuma nebak kok. Hehe
Redi : Ngomong-ngomong, apa lo udah baca pengumuman gue di instastory?
Maya Cintyana : Iya
Redi : Lo berminat ikut, nggak? Nanti untuk lebih detailnya akan gue jelasin saat kita ketemu.
Maya Cintyana : Saya pikir-pikir dulu
Redi : Oke. Kalau berminat, langsung DM aja ya. Oh iya. Ini nomor WA gue. 08*6890007**. Save ya.
Maya Cintyana : Iya
"Semoga saja dia mau diajak ritual." Aldian meletakkan ponsel Redi di atas kasur, lalu kembali menatap kosong langit-langit kamar.
"Kafi lagi ujian, Redi gila, dan gue lagi sibuk nyari perawan. Kenapa hidup gue kayak gini sih? Udah rumah disita, pindah ke asrama yang ada hantunya, kuliah terbengkalai demi nyelamatin nyawa orang, sekarang gue harus ngerawat si Redi yang masih gila. Ditambah lagi ada anak baru yang harus gue awasi. Sial!" Aldian mengacak rambutnya, kesal karena beberapa bulan terakhir, merasa kehidupannya sangat berat.
Saat Aldian sibuk melamun di dalam kamar, diam-diam Erwin keluar dari kamarnya. Menengok kanan, lalu ke kiri. Memastikan tidak ada siapapun yang memergokinya.
"Kayaknya udah nggak ada orang nih. Sebaiknya gue langsung ambil kamera buat dokumentasi semua ruangan di bangunan ini." Erwin cepat-cepat mengambil kameranya dari dalam tas.
Erwin berjalan mengendap-endap, berharap Aldian tidak mendengar suara langkah kakinya. Untuk foto pertama, Erwin keluar asrama, mengambil foto keseluruhan bangunan tampak dari luar. Ia tersenyum tipis setelah melihat hasil yang ia dapat. Sungguh mengagumkan bagi pecinta sejarah seperti Erwin.
Tak berhenti sampai di sana, Erwin juga mulai memotret ruang tengah, dapur, halaman belakang, dan beberapa ruangan lainnya.
"Wow! Foto-fotonya bagus-bagus banget." Erwin kembali melihat foto-foto hasil jepretannya.
Manusia memang makhluk yang tak pernah puas. Terlalu kagum akan nuansa sejarah yang sangat kental di dalam asrama, tentu membuat terbesit di benak Erwin untuk memotret tempat-tempat yang belum ia masuki. Ya! Apa lagi kalau bukan kamar Stevi dan gudang?
"Bangunan ini benar-benar cantik banget. Sayang sekali kalau gue melewatkan dua ruangan lagi," pikir Erwin. Matanya mulai melirik pintu usang yang tak jauh dari tangga. Ya! Apalagi kalau bukan pintu gudang.
Rasa penasaran tentu menggelitik benaknya. Memenuhi rasa ingin untuk sekadar melihat dan memotret apa saja barang-barang yang ada di dalam gudang.
"Kenapa ... kenapa gue jadi penasaran banget sama pintu gudang itu ya? Padahal gue tahu kalau gue nggak boleh masuk di gudang itu karena ruangan itu termasuk ke dalam tiga tempat terlarang." Langkah kaki Erwin tiba-tiba melangkah sendiri menuju pintu usang tersebut tanpa sadar.
"Orang-orang bilang cuma mitos kalau di asrama ini berhantu dan ada tempat terlarang. Tapi dari tadi, gue sama sekali nggak nemuin penampakan apa pun kok." Tangan Erwin mulai menyentuh gagang pintu, lalu mulai menurunkannya.
Erwin tercekat saat ia tak bisa membukanya. Pintu gudang itu tentu saja dikunci rapat-rapat, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Bahkan Pak Darto sengaja memaku beberapa tepi pintu dan memasang kunci double.
"Waduuuh ternyata pintu ini nggak bisa dibuka. Apa jangan-jangan mitos itu beneran ada?" Erwin bertanya-tanya.
"Lo ngapain di situ?" tanya Aldian tiba-tiba, sukses membuat Erwin terlonjak kaget.
Aldian langsung berjalan cepat menghampiri Erwin, lalu merebut kamera milik Erwin. Mengecek satu per satu foto yang ada di dalamnya. Tentu matanya melebar, kaget ternyata Erwin mempunyai maksud lain saat masuk dan menjadi penghuni asrama. Bukan hanya sekadar tinggal. Tapi pemuda itu juga mempunyai niat mendokumentasikan setiap ruangan yang ada di asrama.
"Ngapain lo memotret semua ruangan yang ada di sini?" tanya Aldian marah. "Kan gue udah bilang kalau lo nggak boleh mendekati tiga tempat terlarang!"
"Tapi ... gue belum masuk ke tempat-tempat terlarang kok!" sanggah Erwin gugup. Ia melangkah mundur dua langkah untuk mengambil jarak. Takut dengan mimik wajah Aldian yang terlihat sangat marah.
Aldian meraih kerah baju Erwin, lalu melotot. "Ingat ya! Kalau sampai lo masuk ke tempat-tempat yang udah dilarang, gue bakalan habisin elo! Paham?"
"I ... iya," timpa Erwin ketakutan.
Aldian mendorong Erwin, lalu pergi begitu saja. Membuat Erwin menelan ludah karena terlalu takut.
"Tuh anak kenapa sih? Kayak psikopat aja." Erwin berdecak sambil menggelengkan kepalanya, heran dengan reaksi Aldian yang ia nilai terlalu berlebihan.
Dung dung dung
Erwin kembali terlonjak kaget ketika mendengar suara orang mengamuk sambil menendang-nendang pintu. Cepat-cepat ia menuju ke arah sumber suara. Ya! Siapa lagi kalau bukan ulah Redi?
"Siapa di dalam?" tanya Erwin.
"Buka! Buka! Buka!" teriak Redi sambil memukul-mukul pintu kamar.
Dengan tangan gemetar, Erwin memberanikan diri membuka kunci pintu kamar Aldian. Redi spontan langsung berlari-larian mengelilingi asrama seperti orang gila.
"Ke ... kenapa ada orang gila di asrama ini?" Erwin bertanya-tanya. Kini ia menyesal telah membukakan pintu untuk Redi.
Ya. Salah satu hal yang ia takuti adalah berada dalam satu ruangan dengan orang gila, takut jika orang gila itu akan melakukan penganiayaan padanya. Terlebih hukum tidak berlaku untuk orang yang tidak memiliki akal sehat.
"Aduuh sebaiknya gue kabur dulu dari sini. Bahaya!" Erwin segera berlari keluar asrama, membiarkan Redi berkeliaran begitu saja.
Setelah puas berkeliling asrama, Redi kini berlarian ke luar halaman asrama. Kemudian ia memanjat pohon, naik hingga dahan paling tinggi. Lalu menyanyikan hymne bernada duka.
Lagu yang ia nyanyikan terhenti ketika Aldian sudah berada di bawah pohon, memanggil, lalu memintanya untuk turun.
"Sialan si anak baru itu! Bisa-bisanya dia ngeluarin Redi dari kamar!" umpat Aldian. "Mulai sekarang, gue harus hati-hati sama tingkah laku si anak baru itu. Bisa-bisa dia nekat masuk tempat-tempat terlarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni Asrama
HorreurAldian bukan anak indigo yang bisa melihat "mereka". Tapi Aldian bisa merasakan ada sesuatu di asrama barunya. "Mereka" mengincarnya. "Mereka" menginginkannya masuk ke alam "mereka". Aldian menyimpulkan bahwa penghuni asrama bukan hanya manusia, ta...