Setelah Pak Darto menjemput semuanya, ia mengumpulkan ketiga anak tersebut di rumahnya untuk mengulik hal apakah yang menyebabkan ritual penyucian arwah bisa gagal. Padahal semua tahapan-tahapan sudah ia jalani dengan sangat baik.
"Pak, kenapa nggak terjadi apa-apa?" tanya Kafi keheranan. Padahal tadi ia merasa ketakutan bukan main. Rasanya percuma ia menahan rasa takut bila akhirnya ritual ternyata gagal.
"Saya tidak tahu. Padahal saya sudah melakukan ritual sesuai dengan buku." Pak Darto mengambil salah satu buku usang yang ada di dalam laci mejanya.
Mata Aldian menyipit, sepertinya ia pernah melihat buku itu di suatu tempat. Kalau tidak salah, si gudang penyimpanan.
"Ini adalah buku harian Stevi. Sebelum meninggal, ia menulis tata cara untuk melepaskan kutukan beserta arwah-arwah yang ada di sekitar sini." Pak Darto memperlihatkan buku tersebut pada Aldian.
Aldian melirik ke arah Kafi sambil tersenyum kaku. Kalau boleh jujur, ia sama sekali tidak mengerti bahasa Belanda.
"Mon maap nih, Pak. Kita nggak ngerti Bahasa Belanda," kata Kafi jujur.
"Saya kadang-kadang bisa berkomunikasi dengan Stevi. Dia yang membantu saya menerjemahkan buku ini," jelas Pak Darto.
"Di sini tertulis apa emangnya?" tanya Reisha penasaran.
"Di sini dijelaskan bawasannya ritual harus dilakukan pukul dua belas malam tepat dan membaca mantra secara bersamaan. Mantranya berbunyi hai arwah-arwah! Tenanglah di alam sana. Dan kutukan akan lepas. Dan kutukan akan lepas," papar Pak Darto. "Dan mantra itu harus diucapkan di bawah kain putih berbentuk bulat yang menandakan kesucian."
Pak Darto menunjuk baris-baris di buku harian Stephani yang menjelaskan langkah-langkah menetralisir tiga tempat terlarang.
"Tunggu! Kalau yang atas ini, artinya apa?" Reisha menunjuk baris paling atas yang belum Pak Darto jelaskan.
"Baris yang ini menjelaskan kalau pelaku ritual haruslah orang-orang yang masih suci yaitu dua perjaka dan satu perawan," jelas Pak Darto.
"Ha? Perawan?" Reisha terlonjak kaget.
Spontan Aldia, Kafi, dan Pak Darto menatap ke arahnya.
"Kenapa kalian baru bilang sekarang kalau pelaku ritual harus perawan?" kata Reisha.
"Maksud lo ... jangan bilang kalau lo udah nggak perawan!" tebak Aldian.
Reisha menunduk malu, lalu mengangguk pelan. "Iya. Sebenarnya aku udah nggak perawan."
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal?" bentak Kafi emosi. Rasanya percuma saja ritual menakutkan yang ia lakukan dari tadi.
"Ya kan kalian nggak bilang kalau orang yang ritual harus perawan," sanggah Reisha.
Aldian dan Kafi seketika terdiam. Kalau diingat kembali, memang mereka tidak pernah menyebutkan persyaratan perawan saat membujuk Reisha karena takut tersinggung.
"Ya kita kira lo itu perawan! Kan lo masih muda banget. Baru dua tahun lulus SMA. Siapa sangka kalau lo nggak perawan!" ujar Aldian menaikkan nada suaranya.
"Emangnya semua cewek yang usianya muda itu pasti perawan? Nggak semua!" bentak Reisha yang juga tersulut emosi.
"Sudahlah. Jangan bertengkar." Pak Darto berusaha meredam pertengkaran. "Nasi sudah menjadi bubur. Lagian, bukan salah Nak Reisha. Kalian yang lupa memberi tahu persyaratan awal untuk melakukan ritual."
Aldian dan Kafi tercenung. Harus diakui jika mereka lupa menyebutkan persyaratan awal di mana orang yang melakukan ritual haruslah seorang perawan dan perjaka.
Reisha menunduk dengan muka sedih. "Saat aku umur delapan belas tahun, aku diperkosa oleh pacarku sendiri. Bukannya aku nggak mau menjaga kesucian. Tapi kesucianku telah direbut."
Mulut Aldian dan Kafi seketika terdiam tanpa kata. Tak menyangka jika Reisha ternyata memiliki masalalu yang begitu kelam sehingga ia harus kehilangan kesuciannya.
"Sorry. Gue nggak bermaksud buat mengungkit masa lalu lo," ujar Aldian merasa bersalah. Ia memelankan suaranya.
"Tapi walaupun ritual nggak berhasil, aku tetap dapat uang, kan?" tanya Reisha yang sukses menyulut kembali emosi Aldian dan Kafi.
"Eh lo itu nggak lihat kondisi ya!" bentak Aldian. "Ritual kita udah gagal dan lo masih nanyain uang?"
"Kan aku udah repot-repot datang dari jauh. Aku pikir bakalan bikin konten bareng Kak Redi. Eh nggak tahunya aku disuruh membaca mantra sendirian di tempat angker yang berbahaya," keluh Reisha.
Aldian memejamkan matanya rapat-rapat, mencoba bersabar menghadapi Reisha yang ia nilai terus menerus protes.
"Oke. Ini bayaran lo." Aldian mengambil sebuah amplop putih berisi puluhan lembar uang ratusan ribu, lalu memberikannya pada Reisha.
Tidak ada gunanya berdebat dengan Reisha. Bocah itu adalah tipe wanita yang selalu merasa benar. Berdebat dengannya hanya membuang waktu.
Keesokan harinya, Aldian dan Kafi mengantar Reisha ke stasiun. Mereka hanya bisa mendengus kesal karena pada akhirnya mereka tidak membuahkan hasil apa-apa.
"Waaah ternyata apa yang kita lakukan selama ini sia-sia." Kafi menendang botol sembarangan.
"Iya. Mana kita udah bayar dia tiga juta hanya buat hal yang sia-sia," keluh Aldian yang kini berjalan beriringan bersama Kafi menuju tempat parkir.
"Gue benar-benar nggak nyangka kalau si Reisha ternyata udah nggak perawan," kata Aldian yang masih tak habis pikir.
"Iya. Gue aja yang udah mau lulus kuliah, masih belum pernah nyium cewek."
"Tapi kan Reisha diperkosa sama pacarnya."
Kafi tergelak mendengar asumsi Aldian yang ia nilai sangat polos.
"Kok malah ketawa sih?" tanya Aldian keheranan. Bertanya-tanya mengapa Kafi tertawa terbahak-bahak seperti itu.
"Aldian, lo itu ganteng doang tapi polosnya minta ampun. Jaman sekarang mana ada diperkosa apalagi sama pacar sendiri. Yang ada suka sama suka."
"Eh jangan suudzon dulu!"
"Ya elah. Cewek jaman sekarang nggak sepolos yang kita pikirkan."
"Oooh gitu ya. Berarti nanti kita nyari cewek yang beneran perawan. Kita harus tanya dengan detail biar nggak terjadi kesalahan yang sama." Aldian mengangguk paham.
"Iya. Nanti kita introgasi sedalam-dalamnya."
"Kita pikirkan nanti aja. Bingung gue."
Sesampainya di rumah, Kafi langsung membuka laptopnya. Sudah beberapa hari ia tak masuk perkuliahan karena masalah asrama berhantu. Walaupun ia terlihat tidak pintar, tetap saja Kafi ingin lulus tepat waktu.
Melihat sahabatnya yang langsung membuka laptop, Aldian pikir kalau Kafi ingin mengecek instagram. Barangkali ada seseorang yang bersedia ikut dalam ritual penyucian tiga tempat terlarang.
"Lo mau mengecek instagram ya?" tebak Aldian. Dia melongok, melihat layar laptop Kafi yang ternyata membuka Microsoft word untuk mengetik tugas.
"Lo ngapain?" tanya Aldian.
"Ya elah. Gue ini kan Mahasiswa. Ya wajar kalau gue buka laptop buat bikin tugas, kan?" Kafi menimpali.
"Bisa-bisanya elo bikin tugas saat nyawa orang-orang bisa melayang!"
"Al, gue juga manusia. Gue juga mau lulus tepat waktu. Tadi pas di perjalanan saat lo bonceng, gue udah bikin pengumuman di instastory kok. Kita cuma nunggu waktu aja. Nanti gue bakalan bantuin lo ngecek satu per satu pesan yang masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penghuni Asrama
HorreurAldian bukan anak indigo yang bisa melihat "mereka". Tapi Aldian bisa merasakan ada sesuatu di asrama barunya. "Mereka" mengincarnya. "Mereka" menginginkannya masuk ke alam "mereka". Aldian menyimpulkan bahwa penghuni asrama bukan hanya manusia, ta...