Bus melaju pelan. Bumi tengah murung. Langitnya berabu-abu, sebentar lagi mungkin akan menangis haru.
Mahaka duduk sendiri. Berdamping dengan jendela menatap luar jalan. Tidak ada tujuan pasti baginya untuk bepergian. Mahaka hanya ingin melihat bumi dan dunianya.
Orang-orang silih berganti. Naik turun, masuk dan keluar. Mungkin supir menyadari hal itu namun enggan menegur. Mahaka masih satu-satunya penumpang yang belum sampai pada halte tujuan.
Sesuai dugaan. Rintik itu turun perlahan. Lama kelamaan menjadi deras menyerang. Membasahi dinding kaca membuat pandangan menjadi buram. Namun, tampaknya bukan masalah bagi Mahaka. Tidak membuat pandangannya teralihkan dari sana.
"Permisi, Nona. Ke mana tujuanmu?"
Mahaka berpaling. Ternyata supir merasakan hal yang mengganjal. Ketidakpastian Mahaka, melewati tiap halte yang disinggah. Sepertinya supir merasa tidak nyaman karenanya.
"Aku turun di halte berikutnya. Maaf."
"Tidak masalah, Nona."
Mahaka tidak punya persiapan menghadapi mood bumi hari ini. Tepat pintu bus yang terbuka di depan pemberhentian, seakan hujan terlihat transparan Mahaka tetap turun meski basah mulai menghampiri.
Orang-orang berlalu-lalang. Berlindung dari bawah payung yang setia mengeringkan badan. Lain dengan Mahaka yang sudah basah walau tak banyak.
Bahkan di saat seperti ini, semuanya terlihat tidak peduli. Wajah-wajah manusia seakan menyilang menolak menampakkan diri. Mahaka sulit mengenali. Apa karena lama mendekam dalam ruang sendiri? Mahaka tak tahu pasti.
Mahaka berpaling, bersama dengan langkah kaki yang berayun. Hanya bermodal jaket bertudung untuk menutup kepala. Menerobos di bawah hujan melewati mereka yang menatap heran. Tidak, Mahaka tidak tahu mereka melihat seperti apa dirinya. Menyedihkan, mungkin hingga mereka enggan untuk sekadar menegurnya.
Hujan kian mengguyur semakin derasnya. Mahaka tak menggigil, kedingingan terasa hampa dan mati. Bahkan ketika dirinya memutuskan untuk berteduh di bawah sanggah toko kecil. Itu pun bukan kemauannya jika seorang pejalan kaki tidak berteriak memanggil menyuruhnya berhenti.
Seluruh pakaian ikut menitikkan air. Mahaka menjadi terlihat lebih malang dari sebelumnya. Mungkin mereka yang melihat akan mencibir akan tindakan yang menurut terlalu berlebihan. Tapi apa? Mahaka sendiri bingung dengan bagaimana perasaannya berjalan. Yang dia lakukan hanya mengikuti bagaimana alur batinnya berbisik.
"Ini, minumlah. Setidaknya kau bisa sedikit merasa hangat."
Secangkir kopi gratis. Mahaka menerima dengan jari-jari yang membiru basah. Mengangguk sekali pelan sebelum meneguk isinya dengan mantap.
"Masalahmu sepertinya sangat besar."
Lelaki yang terlihat dewasa itu mengambil tempat di samping Mahaka.
Cangkir kopi di turunkan. Mahaka masih setia menatap jalan yang mulai tergenang. Beberapa orang berjas masih setia memenuhi trotoar sebab kesibukan.
"Duniamu sedang buruk, ya?"
Lagi-lagi lelaki itu bersuara. Mahaka hanya memandang dari sudut mata. Dirinya di tatap sejenak hingga keduanya saling menatap jalan depan.
"Tak ada yang berjalan sesuai dengan keinginan, kau tahu? Semuanya punya garis jalan yang bagaimana semestinya. Mungkin kau sedikit tidak terima dengan itu."
Mahaka hanya diam. Kehangatan cangkir kopi di pangkuan sudah hilang. Masih enggan untuk menatap lawan bicara. Apa yang dia katakan, apa yang dia maksudkan. Mahaka tidak menaruh rasa tertarik yang dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue