Mahaka baru saja sampai di sekolah. Tetap dengan motor besarnya yang sudah dua kali masuk bengkel perbaikan. Tampilannya juga tidak ada yang berbeda. Atau mungkin, sedikit. Ada sebuah stiker putih garis memanjang sekitar sepuluh senti yang berbaris tiga ke bawah. Mahaka menempelkan itu untuk menutupi lubang kecil yang tercipta soal kejadiannya di Asgar beberapa hari yang lalu.
Meneliti parkiran, motor-motor persis miliknya belum menunjukkan keberadaan. Dalam kata lain, Maha dan kawan-kawan belum sampai di sekolah. Melirik jam di tangan, bibir Mahaka sedikit bertekuk ke bawah. Kemungkinan masih terlalu dini bagi mereka untuk datang.
"Hai, Mahaka."
Yang dipanggil berbalik selepas turun dari motor.
Tampang sinis Lean menjadi sambutannya pagi ini. Berlipat tangan di dada dengan alis yang sedikit menukik ke atas. Bersamaan dengan dagunya. Seolah wajah itu mengisyaratkan kalau Mahaka saat ini tengah di rendahkan.
Mahaka hanya menatap dalam diam. Sedikit tidak terbiasa mendapat Lean menyapanya seorang diri. Setelah dirinya menjadi murid baru di sekolah megah ini. Itu yang terakhir.
"Apa yang terjadi dengan club penggemarmu? Mereka sudah mengetahui kalau kau tidak pantas untuk mendapat penggemar, bukan?"
Sebelah alis Mahaka terangkat. Lean lalu tersenyum sinis. Mengibaskan rambut blonde-nya yang berada di depan.
"Kau seharusnya tahu diri, Mahaka. Kedekatanmu dengan geng Maha belum tentu membawa berkat untukmu. Kau masih murid baru di sini. Jangan menanamkan harapan terlalu besar dengan orang-orang yang membentuk club penggemar. Lihat, kan? Itu bahkan hanya bertahan dalam dua hari."
Helm yang sedari tadi dipegang lantas di taruh di atas motor.
"Lalu? Kau ingin menggantiku?"
Lean berkedip. "A-Apa?"
"Mengganti peranku. Ambil club itu dan kembangkan sendiri."
"Club?"
Kepala Mahaka naik turun. Berjalan beberapa langkah ke depan pada Lean membuat sang empu berjalan mundur.
"Jangan merasa tersaingi. Aku memang bukan apa-apa di sini. Waktuku juga terbatas so, stop thinking negative bout me. Lakukan yang kau mau selayaknya aku tidak ada. Semudah itu."
Wajah tenang Mahaka sangat berbeda dengan Lean yang kepalanya mundur ke belakang. Posisinya juga condong mengikuti arah kepala. Keningnya lantas mengkerut. Setelah menelan ludah kasar, bergerak cepat kemudian untuk berdiri tegak.
"Tidak usah menasehatiku! Aku tahu apa yang aku lakukan," tegasnya.
Mahaka terkekeh singkat. Tangannya lalu terangkat mengetuk kening Lean pelan dengan punggung jari-jarinya. Selepasnya, gadis itu berlalu dengan tenang meninggalkan Lean seolah tidak melakukan apa-apa.
Seluruh tubuh Lean merasa merinding. Ada gejolak aneh yang memanggil rona merah di pipinya hingga ke telinga. Wajahnya terasa memanas. Denyut jantungnya beritme dengan aneh. Dan bayangan bagaimana Mahaka kekeh sebelumnya terus berulang-ulang di dalam kepala Lean.
Matanya sontak terbelak. Menggelengkan kepala dengan kuat dan menepuk pipi sembari terpejam.
"Apa yang kau pikirkan? Tidak mungkin seperti itu!"
Lean berusaha mengatur napas dan menghilangkan semu panas yang menjalar tanpa sebab. Dengan bermodal tangan sebagai kipas buatan. Hal itu cukup lama ia lakukan sampai gerombolan suara motor besar masuk melewati gerbang dan berhenti di dekatnya.
Gadis berambut pirang panjang itu sontak mengatur ekspresi menjadi lebih cerah dibandingkan saat menyapa Mahaka tadi. Menyempatkan diri menyisir rambut dengan jari dan tatanan seragam sekolah untuk tetap terlihat menarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue