Ramai suasana. Para pelajar menikmati jam bebas keluar kelas. Riuh suara dan tawa yang menggema, semuanya terlihat begitu santai dengan kegiatannya.
Kelas Mahaka tak jauh berbeda. Setelah pintu kelas tertutup, mengakhiri pertemuan pelajaran dengan pengajar yang berlalu, seruan saling sahut menyahut terdengar dalam rentang waktu yang tipis.
Mahaka hanya berdiam diri. Duduk menjadi pendengar setia selama dirinya asik sendiri dengan lamunan. Mengukir garis abstrak di halaman belakang buku tulisnya. Dagu tertopang sebelah tangan, tidak ada yang menarik perhatian. Atau lebih tepatnya, mungkin belum.
Bangku yang berada di depan Mahaka tiba-tiba berdenyit. Membuat sekadar pupil matanya yang bergerak naik. Lean duduk di depan dengan senyum khasnya. Tidak sendirian, beberapa yang lain juga ikut berdatangan. Berkumpul dan mengelilingi Mahaka layaknya sebuah barang antik mahal.
"Hai, Mahaka. Kita bertemu lagi, jadi teman sekelas," kata Lean.
Tangannya terulur di depan.
"Namaku Adriana Lean."
Mahaka membalas pelan. "Mahaka," jawaban singkat selesai dalam hitungan dua detik lamanya.
Lean menaruh fokus yang antusias. Melipat dua tangan di atas meja dengan mata yang memancarkan binar.
"Apa kau pindahan dari negara lain? Aku baru tahu kalau kepala sekolah memiliki sepupu sepertimu," katanya. "Kalian terlihat lebih seperti sepasang kekasih."
Mahaka mengalihkan pandang. Kembali menunduk menatap karya asbtraknya.
Lean tipe gadis yang cerewet, begitulah menurut Mahaka. Caranya berbicara, mengutarakan segala hal yang tertera di dalam kepala. Tak sulit berekspresi besar, merangkul semua orang dengan sifat periangnya.
Mahaka yang tak menjawab, Lean dan yang lainnya pun ikut terdiam. Seperti ada sebuah kalimat yang hendak diucapkan namun tertahan karena alasan yang tak jelas. Lean bingung dengan keadaan. Pelajar yang ikut mengerumuni pun memberikan kode mata dengan maksud yang sama.
Maka Lean berdeham sedikit kasar. Duduk tak nyaman dan terkesan hati-hati dalam bersuara.
"Maaf, Mahaka. Ucapanku kadang memang seperti itu."
"Tak apa," jawab Mahaka tanpa menatap.
Bibir Lean terlipat ke dalam sejenak. "Kalau begitu, kau mau ikut dengan kami? Ke kantin untuk mengisi perut. Atau kalau kau ingin mengenal sekolah dengan berkeliling, kami bisa membawamu."
Yang lain bereaksi mengangguk menyetujui.
"Kalian ini. Berhentilah menganggunya. Tidakkah kalian paham kalau dirinya tak nyaman?"
Sahutan siswa pada bangku sisi lain mengalihkan perhatian mereka, termasuk Mahaka walau hanya sebentar.
"Biarkan dia sendiri dengan nyaman. Sikap kalian justru membuatnya merasa aneh di sana. Terutama kau, Lean," lanjut lelaki itu.
Nama Lean yang tersebut membuat gadis itu mendengkus. Keningnya mengkerut dengan desihan tipis yang keluar.
"Kau tukang ikut campur," kata Lean.
Lelaki di sana mengedikkan bahunya dengan wajah tak peduli. "Terserah."
Pandangan bersiteru itu terjadi cukup lama hingga Lean yang memutuskannya lebih dulu. Mahaka mengadah menatap keduanya sebelum tunduk kembali. Garis tak jelas yang dia ciptakan mulai menebal dan tembus ke halaman lain.
Suara ramai kembali menghampiri. Kelas mereka didatangi oleh beberapa murid lelaki dari kelas lain.
"Haka! Ayo, ke kantin!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue