Langit tiba-tiba menangis. Mengganti peran hari cerah menjadi abu kelam membawa miliyaran juta tetesan air deras. Kegiatan olahraga outdoor yang seharusnya dilakukan menjadi terhambat. Tapi semuanya dapat teratasi dengan aula lapangan basket dan teater. Memberi fasilitas yang lebih lengkap menjalankan kegiatan mata pelajaran kebugaran ini.
Dua kelas digabung, sesuai dengan jadwal yang tersusun. Kelas Haka dan Maha. Gabungan dua kelas dengan orang-orang yang luar biasa. Kelas Maha melambangkan anak-anak Adam yang mengagumkan, sedangkan kelas Haka adalah surga sekolah anak Hawa. Lean dan kawan-kawannya lambang utama dari sebutan itu.
Seragam olahraga yang melekat, Mahaka mengingat masa lalu di tempat yang sama. Pertandingan basketnya dengan Maha, meski hanya sebentar namun sudah menjadi kebanggan untuknya.
Kegiatan pemanasan yang berjalan lima menit selesai dengan peregangan ringan. Lari mengelilingi setengah luas aula kemudian kembali berbaris, terpisah antar perempuan dan laki-laki.
"Materi hari ini adalah lempar tangkap bola. Permainannya sangat mudah, dengan membagi dua tim dalam dua kotak berhadapan. Kalian cukup melempar bola dengan sasaran lawan dan siapa pun yang kena akan keluar. Kita akan pemanasan untuk permainan awal. Setelahnya, Bapak biarkan kalian bermain untuk memberi nilai. Paham?"
"Paham, Pak!"
"Baiklah. Kita mulai pembagian kelompok."
Haka terlihat semangat dengan dua tangan yang mengepal. "Pisahkan aku dan Maha. Pisahkan."
Kalimat itu terus berulang hingga Mahaka yang berdiri di sampingnya menoleh dengan heran.
"Kenapa?"
"Hah?" Haka menoleh. Mahaka menunjukkan raut santai datarnya. "Oh? Aku harus pisah dengan Maha. Karena dengan itu aku bisa melempar bola tepat di kepalanya."
Senyum lebar itu, Mahaka tahu itu bukan senyum senang. Banyak kejahilan yang ada di sana dan Mahaka hanya bisa tersenyum miring meladeni ucapan Haka. Harapan lelaki itu terus berpanjat dengan telinga yang terpasang kuat pada nama-nama yang disebutkan.
Mahaka memutar kepalanya. Di saat itu, tatapannya berhenti pada Lean yang berada di barisan tepat di tengah-tengah. Lean tersenyum ramah seperti biasanya, tapi bagi Mahaka itu tidak. Setelah ucapan pasal kekaguman gadis itu pada motornya, Mahaka sudah berpikir yang lain dari sikapnya.
"Jaiden, Norman, Haka, dan Mahaka. Itu kelompok terakhir."
"Yes! Mahaka! Kita sekelompok." Haka yang kegirangan meraih leher Mahaka untuk dirangkul.
Semua murid berpisah menuju kelompok masing-masing. Mahaka cukup beruntung sebab memiliki orang-orang yang dikenalnya dalam regu. Meski lebih banyak anak asing dari kelas Jaiden.
"Hei, Maha." Lelaki itu seketika berpaling. "Jangan lupa untuk memasang kepalamu kuat-kuat. Aku takut bola itu akan mengganti posisinya."
Maha tertawa singkat. "Katakan itu pada bokongmu. Terlalu banyak bicara."
Haka membalas dengan juluran lidah. "Ini akan sangat menyenangkan."
Mahaka, Jaiden dan Norman hanya bisa menggelengkan kepala menatapnya. Semuanya menjadi lebih serius kemudian setelah Haka menarik timnya untuk mendekat. Membahas segala strategi untuk bisa bertahan dan menjadi nomor satu.
Pembagian lawan pun diberikan. Haka semakin menjadi setelah mendapat kelompok Maha menjadi tandingannya. Tiba-tiba berlagak profesional dengan peregangan-peregangan anehnya.
"Kita bisa mengeleminasinya lebih dulu. Aku malu melihatnya," pukas Jaiden. Norman terkekeh dan Mahaka hanya bisa diam dengan anggota yang lain.
Dua tim itu memasuki area yang sudah dibentuk dengan garis penanda plaster hitam. Membagi dua kotak dalam persegi panjang dengan garis lurus di tengah. Masing-masing orangnya mengambil posisi menyebar. Haka kembali lagi dengan sifat lucunya dengan berdiri paling depan. Melipat tangan di dada sembari menatap Maha dengan dagu terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue