28 | Kartu Tanda Nama

35 10 1
                                    

Berpisahnya Haka dan Maha bersama tiga teman kawan lelakinya menjadi langkah untuk masuk ke kelas.

"Mahaka." Gadis itu berbalik menatap Maha. "Kita perlu bicara istirahat nanti. Aku tunggu di basecamp."

Tidak menjawab. Mahaka hanya menganggukkan kepalanya kemudian berlalu masuk. Haka menyusul setelah mendapatkan toyoran tidak etis dari Maha. Membuatnya merenggut hendak menendang pantat lelaki itu namun lebih dulu kabur dengan tawa isengnya.

Kehadiran Lean dan yang lainnya menyusul. Murid cantik itu berhenti di samping bangkunya menatap Mahaka yang sibuk bermain ponsel. Haka sudah berpindah tempat menjadi teman sebangku paten gadis itu. Menaruh kepala di atas meja menghadap jendela di samping Mahaka. Tidak pasti apakah Haka tengah tertidur atau tidak.

"Hei, Mahaka." Kesekian kali namanya dipanggil, Mahaka mengadah. Senyum tipis Lean mengembang di wajahnya. "Kau punya motor yang keren."

Lama bersitatap sampai akhirnya Lean memutuskan pandangan mereka dan beralih duduk di tempat. Kawanan Lean yang mengerumuninya menatap Mahaka sesekali dengan senyum dan tawa cekikik. Mahaka hanya diam di tempatnya berpikir. Sikap aneh Lean terlalu jelas untuk dikatakan normal.

"Ada apa?" Haka bersuara.

Mahaka menunduk menatapnya. Pipi berisi berwarna tan itu terlihat seperti mochi manis rasa cokelat. Mahaka kemudian membuang wajahnya menatap ponsel.

"Tidak ada."

Haka terdiam. Beberapa saat kemudian mengangkat kepalanya menatap komplotan Lean yang terus tertawa kecil sembari menatap Mahaka.

"Jangan dipikirkan," kata Haka setelah kembali menaruh kepalanya seperti semual. "Mereka memang seperti itu. Terlalu cerewet dan mengganggu."

Mahaka berdeham. Dari awal masuk, Mahaka memang tidak punya ketertarikan penuh para kawanan anak gadis tenar itu. Terlalu bising baginya dan tidak nyaman menjadi bahan tatapan setiap penghuni sekolah. Kecantikan dan keanggunan itu membuatnya membawa beban yang sangat berat pada dua bahu. Mahaka menolak keras untuk terlihat seperti itu.

Haka mengangkat kepala kemudian bertopang dagu. Ujung alisnya bertemu di tengah dengan kerutan dahi yang tipis timbul karenanya.

"Kenapa kau menguntit kami kemarin?"

Mahaka melirik. "Apa?"

"Kemarin. Kenapa kau harus ikut turun handil perkelahian kemarin? Aku kan, sudah bilang padamu untuk tidak ikut campur."

Kelopak mata Mahaka turun beberapa kali. "Hanya mengikuti insting." Jawabannya membuat dua alis Haka menukik ke atas. "Aku menguntit karena insting yang mengatakan kalau sesuatu akan terjadi. Sedikit buruk."

Haka berdecih pelan. Menurunkan tangan yang dijadikan topangan. "Kalau kau ingin mencari perhatian, sebaiknya jangan. Soal kemarin, itu bukan sekadar perkelahian biasa."

"Aku tahu."

"Kalau kau tahu, seharusnya kau tidak ikut. Lagakmu seperti ingin pamer diri kalau pandai bela diri."

"Memang."

Haka berdisis. "Kau ini. Selain telinga kecil, kau rupanya keras kepala juga."

Mahaka tidak menjawab lagi. Perhatiannya kembali berpusat pada benda persegi panjang tipis di depan. Sesampainya di sekolah, Vouz mengirimkan beberapa pesan untuk memperingatinya. Tidak melakukan hal yang aneh-aneh dan tetap hati-hati. Padahal, petinggi sekolah itu nyatanya tetap akan masuk sekolah hari ini. Hanya Mahaka yang memutuskan untuk pergi lebih dulu.

"Mahaka." Yang dipanggil menjawab dengan dehaman. "Apa yang akan kau bicarakan dengan Maha?"

Kegiatan membalas pesan itu terhenti. Mahaka menyimpan ponselnya dan menatap Haka.

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang