Mobil putih bersih, mewah dan cantik terpajang indah pada area parkir khusus roda empat. Murid-murid yang melihatnya sangat jelas tahu pemilik dari kendaraan mahal itu. Warna putihnya yang cerah seperti awan berhasil membuat siapapun yang melihatnya akan bergumam kagum sekaligus menyipitkan mata. Sinar matahari yang memantul dari badan mobil membuatnya terlihat menyilaukan bagi sepasang retina. Tidak sedikit bagi mereka yang melewatinya memasang tangan di atas mata untuk bisa melihat dengan jelas kendaraan itu. Walaupun sudah setiap hari berlalu-lalang, menjadi salah satu deretan mobil mewah anak-anak sekolah.
Pintunya terbuka, kaki putih dan ramping keluar lebih dulu memijak tanah halus. Badannya kemudian dengan aggun mengikuti. Turun dengan sempurna dan menutup mobil tak kalah anggun lagi.
Fisik dari bentuk terawat mobil sangat jelas menunjukkan bahwa pemiliknya bukanlah orang yang sembarangan. Adriana Lean, salah satu deretan ratu sekolah yang dikenal sepenjuru sekolah itu sendiri. Wajahnya yang kecil dengan mata bulat yang manis seperti rusa. Badannya ramping, proporsi tubuh ideal yang banyak diidam-idamkan oleh kaum Hawa. Rambutnya panjang, tergerai indah berwarna blonde. Semua murid di sekolah setuju, kalau Lean adalah definisi malaikat yang dikutuk menjadi manusia.
"Selamat pagi, Lean. Seperti biasa. Kau sangat cantik hari ini."
Karena indahnya Lean, banyak bahkan terhitung terlalu banyak yang menginginkan untuk berteman dengannya. Menjadi salah satu bagian dari kumpulan anak-anak yang terbilang sedejarat. Tapi, karena kecantikannya, tidak sedikit dari mereka memilih untuk menyerah lebih cepat.
"Kalian juga," balas Lean. Senyum manis pemikat para anak Adam terbit terlalu pagi hari ini. "Oh, ya. Apa Maha sudah datang?"
Salah satu kawannya menggeleng. "Dari deretan motor besar, milik Maha belum ada di sana. Bahkan teman-temannya juga."
"Dia belum datang. Mungkin sedikit lagi," kawan lainnya menyambung.
Lean mengangguk dengan melipat bibirnya. Hal itu sukses membuat pipi mulusnya menunjukkan lesung. Dia kemudian berbalik, menatap diri dari pantulan kaca mobil untuk menata diri. Memastikan keindahan dirinya untuk menyapa Maha sudah siap saat bertemu nanti.
Tidak banyak yang tahu, hanya sekadar desas-desus gosip yang masih tabu, bahwa Lean menyukai lelaki berwajah dua dari keluarga terhormat, Maha. Lean hanya menunjukkan sikap malu-malu itu di depan para kawanannya. Bahkan terus terang menceritakan seberapa suka gadis itu pada Maha.
Ada banyak cara yang dilakukan Lean untuk membuat Maha meliriknya. Mendekati teman-temannya adalah salah satu dari ribuan cara yang masuk dalam daftar usahanya. Sayangnya, hampir bahkan tidak ada yang berhasil. Maha sangat sulit berpaling, apalagi di saat kehadiran Haka mengintrupsi. Lelaki itu seperti pusat gravitasi Maha yang selalu menariknya dari apa pun. Meski sekelas dengan Haka, itu tetap tidak bisa membuat Lean terlihat dekat dengannya. Hal ini karena Haka memiliki sikap yang lebih cuek ketika di kelas. Perlu banyak berpikir keras hingga sudah dua tahun lebih Lean berusaha, tapi dia belum menunjukkan bendera putih menyerahnya.
Suara kendaraan besar yang kini menjadi sasaran perhatian. Tak terkecuali bagi Lean dan teman-temannya. Sekawanan motor besar yang saling menyusul berjejeran lurus, menatap mereka satu-satu sudah terlihat jelas bahwa mereka adalah kakak tingkat yang menggandrungi deretan anak-anak ternama sekolah. Tepat setelah semua melepas helm, senyum murid-murid perempuan mulai terbit dengan bisikan memuja.
Seperti yang dikatakan, tidak menghitung terlalu lama Maha dan teman-temannya sudah datang bersama. Dengan Maha yang berada dipaling ujung pertama dari pandangan Lean, membuat gadis itu bisa lebih leluasa melihat aura yang memujakan mata. Dirinya bahkan tidak kuasa untuk menahan senyum agar tidak terbit. Menyentuh rambutnya sebentar sebelum mengambil langkah untuk menghampiri. Sayangnya, bahkan belum Lean mengangkat kaki, suara motor lain menghentikannya. Berhenti tepat di samping Maha, menghalangi lelaki pujaan Lean.
Pemiliknya membuka helm. Rambut hitam lembut dan lebat yang seketika tergerai berjatuhan di belakang. Wajah dingin dengan sebuah plaster luka di pipi. Mata tajam namun terkesan hangat menjamu siapa pun yang menatap.
"Mahaka kenapa ada di sana?"
"Dirinya selalu saja mengganggu. Bukankah dia berlagak sok dekat dengan mereka? Menyebalkan sekali."
"Kau benar. Dirinya sangat haus perhatian. Dan, sejak kapan dirinya membawa motor besar itu?"
Senyum mengagumi itu luntur berganti dengan kekesalan. Dengkusan singkat dan mata yang menatap tak suka. Lean benar-benar terganggu dengan kehadiran murid baru itu.
"Hei, Lean. Kau harus menyapa Maha. Lupakan soal gadis haus perhatian itu. Kau sudah sangat jelas lebih cantik darinya."
"Benar, Lean. Kita akan mengikuti di belakangmu."
Lean menarik napas sebentar kemudian dihembuskan. Wajahnya menjadi tenang dan menampikkan senyum ramah. "Jangan khawatir, teman-teman. Aku tidak pernah memikirkan Mahaka. Dia hanya orang baru. Ayo, kita sapa lelaki terbaik sekolah kita."
Maha dan yang lainnya, mereka masih berkumpul di tempat parkir kendaraan roda dua untuk mengobrol. Sekaligus memastikan tampilan mereka dari kaca spion.
"Hei, Mahaka. Sepertinya, sekarang-sekarang ini kau sudah bebas membawa motor," Jaiden berceletuk dengan mulut yang sibuk mengunyah permen karet.
"Ya. Vouz mengizinkan."
Dagu Ren terangkat menunjuk. "Bagaimana dengan lukamu? Pak Vous tidak mengatakan sesuatu?"
"Salahnya sendiri," Haka mengintrupsi. Mata lelaki itu menyipit seperti menekan Mahaka. "Aku sudah bilang padamu untuk jangan ikut campur. Dasar kuping kecil."
Ren berdecak di samping Haka. Jaiden dan Norman hanya terkekeh sebentar. Dan Mahaka sendiri, dia hanya berekspresi santai dengan dua alis yang terangkat bersamaan.
"Tapi itu baik-baik saja, kan? Aku sudah menyuruhmu untuk membersihkannya dulu sebelum diplaster," ucap Norman.
"Vous yang lakukan. Alasanku hanya tergores ranting kayu."
"Alasan yang lumayan masuk akal." Mereka mengangguk bersamaan.
"Mahaka." Yang dipanggil menoleh. Maha sudah turun dari motornya dan berdiri di samping Haka. "Kitaㅡ"
"Hai, Maha. Dan kalian semua. Selamat pagi." Lean datang lebih dulu memotong ucapan menebar senyum cerah.
"Selamat pagi juga, Lean," balas Jaiden.
Norman hanya tersenyum biasa dengan tangan yang terangkat sebentar. Ren yang mengangguk dan Haka yang sekedar melirik. Maha yang disebut cukup menatap tanpa membuka suara apa pun.
Mahaka yang bersandar pada motornya seketika menegak. Menatap kawanan Lean satu-satu yang begitu sinis. Memalingkan wajah dan mengambil ransel, sebelum akhirnya memilih berlalu pergi meninggalkan kerumunan. Lean tersenyum puas dengan itu.
"Loh? Mahaka? Tunggu!" Haka yang melihat anak dingin itu berlalu segera merampas tas dan mengejarnya. Setelah sejajar, meraih leher Mahaka untuk dirangkul layaknya teman lelaki.
Dari Haka yang ikut berlalu, seakan menjadi petunjuk bagi yang lain untuk ikut menyusul. Ren sudah menggantung tasnya di bahu, Norman yang pamit berlalu dari Lean dengan senyum ramah, disusul Jaiden terakhir yang merangkul dua temannya seperti Mahaka.
Maha pun melakukan hal yang sama. Meraih tas dengan mulut yang tertutup rapat, dan tanpa sepatah kata pun berlalu melewati Lean yang juga ikut terdiam. Seakan kehadiran gadis itu tidak ada di sana. Berlalu tenang dan menyusul yang lainnya.
Lean berbalik. Dua kepalan tangan yang kuat bergetar di samping badan. Gadis itu jelas sangat tidak suka. Emosinya naik terlalu cepat hari ini. Dan jika bukan karena teman-temannya yang mencoba untuk menenangkan, Lean pasti sudah berteriak menyebut nama Mahaka.
Lean membuang wajahnya. Seketika terpaku menatap kendaraan besar roda dua di sampingnya. Senyum miringnya terbit dengan satu dengkusan. Bersilang dada dan dengan begitu bangga pada dirinya sendiri akan ide yang mengalir di dalam otaknya.
"Sedikit teguran sepertinya bukan masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue