"Apa maksudnya dengan club penggemar Mahaka? Dia bahkan terlihat biasa saja. Tidak ada yang mengagumkan di dirinya."
"Kau benar. Mereka ini hanya tergila-gila dengan tampang dan kelakuan soknya."
"Ini juga terbentuk karena Mahaka dekat dengan teman-teman Maha. Sudah sangat jelas dirinya hanya menumpang ketenaran saja. Tidak tahu malu."
Para gadis itu berpaling pada Lean. "Harusnya Lean yang memiliki club penggemar. Bukan begitu?"
"Tentu saja. Dibandingkan dengan anak nakal itu, Lean tentu jauh lebih pantas."
"Heran saja kenapa mereka tidak melakukannya? Memangnya ada syarat pembentukan club penggemar itu? Lean bahkan sudah sangat jauh dari segala persyaratan."
"Kau benar. Menyedihkan sekali mereka tidak membuatnya. Tapi tenang saja, kami yang akan membuatmu jauh lebih bersinar, Lean. Kau jangan khawatir. Mahaka tidak ada tandingannya denganmu."
Lean membiarkan kiacuan teman-temannya terus keluar. Membahas pasal club penggemar Mahaka yang menjadi topik panas sekolah hingga di luar. Ibu jarinya sibuk menarik halaman. Memunculkan banyak deretan wajah Mahaka bersama dengan komentar-komentar yang mengagungkan sosok gadis baru itu. Lean berdecih pelan sembari menekan tombol keluar dengan kasar. Melepas ponselnya hingga membuat benda tipis itu sedikit berdentum dengan meja bangkunya.
Semua beranda sosial media anak remaja membahas soal Mahaka. Tidak hanya itu, Lean yang kemarin sempat singgah di kampus untuk bertemu ayahnya mendapat teguran soal Mahaka. Di mana-mana, semua Lean jumpai hanya pasal Mahaka dan itu cukup membuatnya muak. Hanya dalam waktu sesingkat itu, kepopulerannya menyebar dengan sengat cepat. Jujurnya, Lean iri padanya.
"Eh? Ada apa ini? Kepala sekolah tiba-tiba mengumumkan pasal penon-aktifan club penggemar Mahaka."
"Kau benar. Orang-orang yang membacanya mendadak menggila mengajukan keberatan."
"Lean, coba kau lihat laman base sekolah."
Lean kembali menarik ponselnya. Membuka akun lapak sekolah dan mendapat topik lebih panas dari sebelumnya. Kalimat yang tegas yang berbobot itu berhasil menciptakan kegaduhan dengan banyak tanda tanya. Lapak komentar tidak berhenti terisi. Rata-rata di antaranya mengajukan tanya dan keberatan atas keputusan yang diumumkan. Lean bahkan tanpa terkecuali menyerit.
"Memang sudah seharusnya itu bubar. Kenapa pula sampai harus membentuk club penggemar? Ada-ada saja."
"Kau harus senang, Lean. Hanya dua hari masalah sakit kepalamu menerjang."
Semua teman-temannya terus berkecoh tapi Lean justru penasaran dengan alasan pembubaran yang tiba-tiba itu. Hanya dalam waktu dua hari? Itu adalah pembentukan club yang sangat sebentar.
ooo
"Kau yakin gadis ini yang mematahkan tanganmu?"
"Aku sangat yakin. Palster di pipinya adalah bukti. Aku sempat menyayatnya dengan pisau kecilku."
Lelaki itu terus menatap foto Mahaka tanpa berpaling. Kakinya bertumpu dan berayun pelan. Jari kirinya mengapit sebatang nikotin yang hampir habis. Menyesapnya yang terakhir kemudian menekannya di atas asbak bening.
Ruangan dengan cahaya yang remang. Laki-laki dengan tangan yang bergantung masih berdiri menunggu reaksi lanjutan dari lelaki penting di depannya.
"Wajahnya tidak asing," kata lelaki itu. "Dia mengingatkanku pada dua bedebah sialan itu secara langsung. Kau paham maksudku?"
Yang ditanyai hanya berkedip beberapa kali kemudian menggeleng.
Lelaki itu menatap foto Mahaka lagi, selepasnya melepas senyum sinis. "Terdengar tidak masuk akal tapi, dia terlihat seperti anak mereka. Benar-benar mengagumkan."
Lelaki itu tertawa. Tidak ada keramahan, bahkan terkesan menyindir. Dia kemudian menegakkan duduknya. Melempar foto cetak Mahaka dan menyatukan jari-jari di atas meja.
"Apa masalahnya dengan dia mematahkan tanganmu? Selagi dia berada di kubu Maha, maka dia juga memiliki takdir yang sama dengan bajingan itu." Badannya terdorong ke belakang bersandar dengan nyaman. "Teruslah menyerang. Terserah kalian ingin berperang di area mana. Yang jelas, kalian harus mendapatkan kotak itu dan memberikannya padaku."
"Baik. Akan aku bawa kotak itu dengan segera."
Laki-laki itu berbalik, meninggalkan ruangan setelah mendapatkan persilaan untuk keluar. Asap batang nikotin terbakar kembali menyeruak. Lelaki itu menarik foto Mahaka sekali lagi dan melihatnya.
"Sungguh luar biasa jika itu benar-benar terjadi. Pasangan menjijikkan ini, menikah di usia dini? Lelucon dunia memang tiada tanding."
ooo
Jadwal pulang sekolah, hari ini tidak ada kegiatan berkumpul untuk bersenang-senang. Haka pergi untuk menghadiri jadwal kegiatan ekstrakulikulernya. Begitupun dengan Maha dan yang lain.
Terlahir dari darah seorang atlet Judo yang profesional, Haka jelas mengambil jejak yang sama sebagai penerus sang Ayah. Meski ketakutannya tetap sama, pasal iming-iming yang beterbangan soal alasan sang Ayah pergi berpindah dunia.
Haka sudah menekuni Judo sejak umur hampir lima tahun. Terdukung dari suportif kedua orang tua dan bentuk badan yang mapan, Haka di masukkan ke sekolah khusus Judo. Mengikuti beberapa ajang perlombaan dan berhasil membawa medali hingga tropi yang sangat banyak jumlahnya. Walaupun sempat hiatus karena kepergian sang idola, Haka kembali memanggil jati diri untuk terus melanjutkan sampai waktunya bertemu nanti.
Keluarga harmonis yang penuh duka, jauh berbanding terbalik dengan keluarga mewah namun penuh akan penekanan. Maha sedari kecil mendapat banyak insiatif pembentukan untuk masa depannya. Bebagai kegiatan mulai diikuti namun, kemuakkan Maha berhasil membuatnya menjadi pembangkang yang keras kepala. Dari kian banyaknya kegiatan paksa itu, hanya panah dan bela diri boxing menjadi kegemarannya. Berhasil membentuk diri Maha menjadi lebih keras dari sebelumnya. Tak terkecuali pada tubuhnya yang kian lebih atletis.
Maha sangat senang dengan pertemuannya bersama Haka. Baginya, Haka memperlihatkan hal yang tidak dilihatkan oleh keluarganya, salah satunya kasih sayang. Meskipun beberapa kali membawa Haka ke rumah, masih sangat jauh mendapat kemungkinan akan pandangan orang tuanya berubah. Maha hanya ingin membuat mereka melihat keinginan yang seharusnya mereka berikan, semuanya ada pada Haka. Tapi Maha sadar, kalau keluarganya terlampau lebih dulu buta dengan kedudukan.
Mahaka berakhir pulang sendirian. Motor yang masuk bengkel sesuai janji sudah bisa dia gunakan. Sempat mengolok Lean dengan makna sirat, membuat gadis itu kian mendengkus menatapnya.
Halaman yang sepi, hanya seorang diri, Mahaka bersiap untuk segera pergi. Tidak mengikuti kegiatan seperti halnya Maha dan Haka juga teman-teman lain, bagi Mahaka sudah cukup karena pengalaman bertahan hidupnya yang membantu. Soal berkelahi, Mahaka sudah pernah bahkan sering melakukan itu.
Menarik pedal gas dan melewati gerbang besar. Jalan yang cukup padat namun tidak masalah bagi Mahaka yang sudah handal mengendarai motor besarnya. Sayangnya, dari kaca spion kanan, insting menyebutkan kalau seseorang tengah mengekor di belakang. Tidak hanya satu, melainkan tiga motor yang tidak jauh berbeda dengan kepunyaannya.
Mahaka memasang gigi dan makin membuat kedaraannya laju di atas jalan. Menyalip beberapa kendaraan, bahkan tampa segang di saat nyawanya dalam taruhan. Antara dua truk besar, Mahaka tanpa segan menarik gasnya mencapai jalan keluar di ujung truk. Menoleh ke belakang, tiga pemuda motor itu rupanya masih mengikuti dengan jelas.
"Sudah terlanjur sepertinya. Maaf, Vouz."
![](https://img.wattpad.com/cover/326753491-288-k164619.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue