Meringsut beberapa hari. Haka terlihat seperti anak gadis yang bertengkar dengan kekasihnya. Kira-kira, memang seperti itu. Perkara Mahaka yang tidak pernah bicara lagi dengannya setelah kejadian itu, dalam basecamp Haka tidak segan-segan merengek seperti layaknya dia memang seorang gadis. Dan yang dibuat kelimpungan adalah Maha. Paling besar Maha.
"Lalu aku harus apa? Yang berbuat teman Kak Tris, bukan aku."
"Tapi dia saudaramu. Itu juga berarti mereka temanmu."
"Bukan berarti aku yang menyuruh mereka, Haka."
"Lalu bagaimana?"
"Mana aku tahu?"
Selalu seperti itu, dengan topik yang sama. Ren, Norman dan Jaiden juga masih setia menjadi penonton keributan anak muda. Seperti sekarang.
Haka menghempaskan pantatnya di atas sofa. Melipat tangan di dada dengan wajah kusutnya. Sekarang, Maha tidak peduli. Dirinya beralih di tempat lain seraya bermain ponsel. Hal yang seharusnya bukan menjadi masalah bagi mereka berdua tapi Haka sudah berlagak mematentan Mahaka seperti orang berharganya. Dan lagi, Maha sedikit tidak suka dengan itu.
"Sudah? Tidak ada perdebatan lagi? Tidak biasanya secepat ini," ungkap Jaiden. Dirinya turun dari Tempat duduk empuk samping jendela. "Kalian tidak lapar?"
"Tentu saja iya, Jaiden. Menonton mereka membuatku lupa makan," balas Norman.
Jaiden mengangguk menimpali. Beralih pada Ren, laki-laki itu mengangguk kecil dan berjalan lebih dulu ke pintu keluar basecamp.
"Aku akan membawakanmu susu karamel, Haka. Itu pun jika masih ada," ucap Norman sebelum menjadi orang terakhir yang keluar dan menutup pintu.
Keheningan melingkupi basecamp. Haka masih dengan setia pada pusing merajuknya dan Maha fokus pada ponselnya. Perdebatan yang tidak seharusnya, Haka sendiri juga bingung kenapa dirinya bersikap seperti ini. Tapi melirik Maha yang justru terlihat tidak peduli makin membuatnya kesal.
"Kau hanya akan berdiam diri di sana?" tegurnya.
Maha melirik sebentar. "Tidak peduli," balasnya kemudian.
Haka mendengkus. "Terserah."
Hentakan kakinya pertanda bahwa Haka sudah melampui batas kesalnya. Berdiri dengan tegas dan menatap Maha menyerit sebelum berlalu mendekati pintu.
"Jangan berani menyentuh gagang pintu," sahut Maha dengan nada datarnya.
Haka berbalik. "Tidak peduli."
Gerakan ponsel Maha berhenti. Matanya kemudian bergilir ke Haka. Masih berdiri di depan pintu dengan wajah kusut. Tangannya bahkan setia melayang memegang gagang pintu. Tinggal satu tarikan kecil untuk membukanya.
"Haka."
"Tidak. Peduli." Haka menyebut kalimat itu dengan tekanan ditiap katanya.
Maha menghela napas. Dirinya bangun dari tempat dan berjalan mendekati sang partner. "Hei, maafkan aku."
Haka diam dengan bibir yang sedikit terlipat ke bawah.
Maha tersenyum tipis. "Aku sudah memberi tahu Kak Tris. Dia akan menghukumnya. Maafkan aku."
"Katamu tidak peduli," sanggah Haka.
"Tidak. Aku peduli. Aku sangat peduli padamu. Sangat."
Akhir katanya, wajah Haka tenggelam bersembunyi di dada kekar Maha. Dengan mata yang terpejam menerima elusan penenang di punggungnya. Belakang kepala yang dibelai tidak kalah manisnya, tangan Haka terangkat untuk melingkari pinggang Maha.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue