Haka berkumpul bersama teman-temannya dalam sebuah ruangan layaknya basecamp pribadi.
"Apa yang kau lakukan padanya?" tanya Haka.
"Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya memberitahu pasal kartu debit."
"Lalu, kenapa dia menangis?"
Bahunya naik bersamaan. "Mana aku tahu."
"Mungkin kau menepuknya terlalu keras," kata teman yang lain.
"Seriously? Sentuhanku bahkan mungkin lebih lembut dari pada hembusan angin," jawabnya membela diri.
"Mungkin dia memiliki trauma atau hal lain. Kau tak bisa menyentuhnya seenak diri," Haka berucap lagi.
Semuanya terdiam, memasang mata pada Haka yang duduk bersandar seraya melipat kaki.
"Ada apa denganmu?"
Dua alis Haka bergerak naik. "Aku? Aku kenapa?"
"Entahlah, hanya ... aneh sekali kau bersuara seperti membela siswi baru itu. Padahal aku benar-benar tidak melakukan apa pun."
"Aku tak membela—"
"Ya, kau membela."
"Hei, jangan memotong ucapanku!"
Mereka yang lain hanya diam menyaksikan keduanya bergantian. Duduk manis dengan jamuan makanan ringan. Sebuah adegan yang sangat familier dan sudah sering terjadi. Mereka memaklumi.
"Dia keluarga dari kepala sekolah. Aku hanya meringankan masalahmu karena berurusan dengannya. Lagi pula kau tahu, Pak Vouz memiliki jiwa dendam yang menakutkan. Apalagi kau membuat sepupunya menangis," jelas Haka.
"Aku sudah bilang tak melakukan apa-apa. Kenapa kau ini?"
"Aku mengkhawatikanmu, bodoh! Kau mau mendapat sanksi dari Pak Vouz? Kalau iya, ya, sudah."
Haka berpaling, berdiri dari tempatnya dan hendak berlalu keluar. Berwajah masam melewati lelaki itu. Melemparkan tatapan mendelik sebentar hingga terlewat satu langkah.
Sayangnya, Haka masih sangat jauh untuk mendekat pada pintu keluar. Lengannya tertahan dengan pelaku lelaki yang bersiteru dengannya.
"Kau mengkhawatikanku, hm?"
Suara yang manis namun Haka memberikan reaksi membuang mata malas. Melepas tangan yang tertahan beralih bersedekap dada.
Lelaki itu tersenyum. Menepuk pucuk kepala Haka layaknya seorang bayi kecil.
"Haka khawatir padaku, teman-teman," ucap lelaki itu sedikit lantang.
Mereka menahan tawa yang hendak keluar. Haka kian makin merenggut dibuatnya. Kekehan yang lepas dari lelaki di depan, ingin rasanya Haka melepaskan pukulan telak tepat di wajah.
"Berhenti tertawa! Menyebalkan," gerutu Haka.
Lelaki yang duduk bersila di atas meja turun terhentak. "Kau justru terlihat menggemaskan saat kesal, Haka. Ibumu mengidam apa saat mengandungmu? Boneka beruang madu?"
Haka bermuka datar kemudian. "Terserah kau saja."
Dirinya kembali ingin berlalu namun kembali ditahan dari pelaku yang sama. Haka mendelik tajam.
"Apa lagi? Aku mau ke kelas."
"Wowowo, santai beruang kecil." Genggamannya terlepas. "Untuk apa ke kelas? Waktu istirahat masih lama. Mau bermain game?"
Haka menatap geli alis melengkung itu bergerak naik turun. Teman yang lainnya sudah bersiap mengambil tempat seperti ucapan yang terlontar. Menyalakan TV datar dan mulai mengotak-atik kotak kaset.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
Fiksi UmumNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue