41 | Keturunan

52 12 2
                                    

Haka sudah tahu, bahkan sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Di mana Maha terus menempelinya tanpa lihat kondisi, seperti ujung magnet dengan sumbu saling tarik menarik. Bedanya, Haka hanya diam sementara Maha terus bergerak. Pertemuannya dengan Mr. J kemarin sudah menjadi petunjuk atas kelainan sikap Maha hari ini. Dan tentu saja, meski sudah sangat terbiasa, hal yang satu ini malah membuat Mahaka menyerit keheranan.

Tidak seperti biasa menurutnya. Kalau menempeli Haka sudah termasuk kesukaan Maha, hanya saja hari ini benar-benar menempel. Bahkan ketika mereka kumpul di kantin untuk mengisi perut, posisi kiri Haka yang kosong hendak diisi oleh Jaiden malah mendapat tatapan sinis penuh intimidasi. Alhasil, hanya Maha yang duduk berhadapan dengan ketiga temannya. Termasuk Mahaka juga. Dirinya bahkan tidak mengambil pikiran untuk pindah tempat. Belajar dari pengalaman Jaiden lima detik yang lalu.

Dan semuanya terjadi hitungan dalam seminggu. Sungguh mengherankan. Mahaka jadi penasaran dengan perubahan Maha yang cukup drastis. Istilahnya, dia menjadi seorang pria yang posesif. Terlebih lagi pada sikap Haka yang seolah sudah biasa dengan hal ini. Otak Mahaka makin penasaran dan terus berputar mencari alasan.

"Makan, Maha. Jangan melihatku terus," tegur Haka sebelum sesuap nasi omelet masuk ke mulutnya.

"Aku makan. Sambil melihatmu."

"Aku tidak akan hilang."

"Aku tahu."

Ren, Jaiden dan Norman sudah berapa kali menghela napas, mencoba untuk tidak terlalu peduli. Tapi Maha terlalu kontras dalam aksi posesifnya. Bahkan tidak sedikit dari penghuni kantin menatap keduanya. Paling utama Maha.

Menjelang hening hingga makanan Mahaka hampir habis, keributan lantas berseru dari arah pintu belakang kantin. Semua mata langsung tertuju ke sana. Tidak terkecuali mereka. Menatap segerombolan anak lelaki yang bersikap keren dan garang memasuki kantin. Mereka yang berjalan sembari membawa makanan hendak mencari tempat lantas meringsut mundur begitu mendapati mereka masuk.

Kening Mahaka menyerit. Tidak tahu menahu pasal sekumpulan anak murid yang berseragam persis dengannya. Terakhir yang dia kenal, muka sok bagai anak tinggi di sekolah adalah Wira. Namun semenjak dipanggi oleh Vouz untuk damai, anak itu sudah tidak pernah memunculkan batang hidungnya lagi.

"Mereka lagi," sahut Ren.

Mahaka berpaling. Menatap Ren yang lalu tertunduk kembali menikmati makanannya.

"Mereka siapa?" tanya Mahaka.

Namun hal itu hanya berlangsung sebentar dan tidak mendapat jawaban sebab sekumpulan para anak yang baru masuk itu lantas mengepung tempat mereka. Mahaka mengadah menatap mereka satu per satu.

"Ouh, jadi gadis ini yang dimaksud?" Satu dari mereka membuka suara.

Dirinya menatap Mahaka dengan bibir manyun yang melengking ke bawah. Seolah melakukan research padanya.

"Tidak ada yang spesial nampaknya."

Anak di sebelahnya terkekeh. "Tunggu sampai dia mematahkan tanganmu. Aku dengar itu dari anak kubu Maha yang bercerita."

"Eh? Yang benar?" Tapi malahan mendapat delikan bahu.

Mahaka yang menjadi perbincangan nampak tidak dipedulikan oleh kelima lelaki yang bersamanya. Mahaka bahan menatap mereka satu-persatu, benar-benar tidak tahu pusing akan kedatangan kumpulan anak-anak ini.

"Kenapa? Kau takut karena mereka tidak peduli padamu sekarang?" Seakan tahu dengan reaksi Mahaka, satu yang lain lagi membuka suara. "Itu berarti kau harus tahu batasanmu. Dengan terus bersama mereka bukan berarti kau menjadi bagian dari mereka. Bukan begitu, Haka?"

Haka yang dalam mode menyuapi diri lantas terhenti begitu mendapat tepukan pundak di sebelah kiri.

"Lepaskan tanganmu," peringat Maha dengan nada rendahnya.

"Masih posesif seperti biasa. Haka, si manusia berharga milik Maha. Tidak akan mengherankan kalau kalian tiba-tiba menjadi pasangan. Menjijikkan."

Kening Mahaka mengkerut lagi. Dirinya hendak berdiri namun tangan Norman menghentikannya di bawah.

Seorang  murid dengan wajah datarnya nampak mendekati Maha. Dirinya membungkuk untuk menjajarkan wajahnya di samping lelaki itu.

"Aksi damai itu tidak akan pernah terjadi kan, Maha?" Maha langsung mendelik. Lelaki itu tersenyum miring lalu berpaling pada Mahaka sebentar. "Kotak busuk itu sudah tidak penting. Hal yang paling menarik saat ini adalah, keturunan-mu."

Mahaka menegang kala tatapan lelaki itu tajam kepadanya. Lain dengan Maha yang malah menyeritkan kening tidak paham dengan maksudnya.

Lelaki itu menegak kembali. Matanya masih belum mlepas dari Mahaka lagi. "Senang bertemu denganmu. Dalam waktu dekat, kita akan lebih sering bertemu. Aku Dean."

Ucapan lelaki itu menjadi perpisahan. Meninggalkan tempat Mahaka berkumpul dengan yang lainnya, keluar melewati pintu depan kantin. Suasanya menjadi lenggang kembali setelah sebelumnya terisi dengan ketegangan.

Kepala Mahaka membalik ke belakang  menatap kepergian lelaki yang bernama Dean tadi. Sekelebat perasaan bercmpur gugup menghampirinya setelah lelaki itu mengucapkan keturunan. Hal yang sekarang menjadi kode lampu merah untuk Mahaka.

"Apa maksudnya dengan keturunan?" sahut Haka.

Mahaka kembali menatap ke depan. Mendapat Haka dengan wajah masam dan datar.

"Aku tidak tahu," jawab Maha.

"Kau yakin?"

"Sangat."

Haka berpaling pada Maha meski ekspresinya tidak berubah. Maha yang ditatap menjadi gugup seketika. Dia tahu dan sangat paham maksud dari tatapan partner-nya ini.

"Haka—"

"Ya," potong Haka cepat. "Kau ingin menjelaskan, kan?" Maha menelan ludah. "Tapi sepertinya tidak perlu. Keturunan itu jawaban yang sudah jelas."

Maha mendesah. "Aku sendiri tidak paham maksudnya, Haka. Jangan menuduhku."

"Menuduh? Aku? Malah yang terlihat sus di sini adalah kau, Maha. Mr. J kesekolah, seminggu menempeliku, dan Dean menyebutkan keturunanmu. Semuanya nyambung. Jangan lupakan juga, Dean bukan orang asing untukku."

Mahaka sedari tadi hanya diam. Dari tempatnya dia bisa tahu kalau ada kesalahpahaman yang terjadi antara orang tua-nya.

Haka berdiri. "Aku akan diam hingga kau mengatakan semuanya."

Belum sempat Maha menahan, Haka sudah melenggang pergi meninggalkan makannya yang  masih tersisa setengah. Maha sendiri lantas mengacak rambutnya kasal dan memukul meja dengan lantang. Sebelum akhirnya ikut menyusul keluar dari arah yang berlawanan.

"Cukup mengejutkan," pukas Jaiden. "Entah apa yang terjadi antara Maha dan ayahnya, tapi ini benar-benar cukup mengejutkan."

"Kau juga berpikir seperti itu?" tanya Ren tanpa menoleh.

"Em ... bisa dikatakan, ya. Kau sendiri tahu sekeras apa Mr. J pada Haka. Menjauhkannya dengan Maha bukan suatu masalah yang rumit untuknya."

"Tapi dengan membawa kata keturunan itu terlalu naif. Mereka masih di usia dini."

"Tidak, selama mereka sama-sama ingin," sahut Norman. Lelaki itu  menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

"Maksudmu?" Jaiden menyerit.

Norman tersenyum manis seperti biasanya. "Ini bahkan lebih dari cukup mengejutkan. Bisa dikatakan kalau keturunan Maha adalah hadiah."

Ren memiringkan badannya untuk bisa melihat Norman sepenuhnya. "Maha benar-benar memiliki keturunan? Kau tahu dari mana?"

"Itu sangat jelas. Kalian bahkan melihatnya. Setiap hari."

Mahaka tiba-tiba berdiri membuat Jaiden dan Ren menatapnya. Gadis itu tidak bersuara. Memilih memutar badan dan berlari keluar ke arah Haka keluar sebelumnya. Hanya Norman yang tidak berbalik menatap kepergiannya.

Senyumnya masih bertahan namun kini Norman menunduk. "Benar-benar hadiah yang mengejutkan," gumamnya.

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang