23 | Pembelaan Seorang Putri

35 9 0
                                    

Suasananya masih sama, hening, tegang dan kaget bercampur menjadi satu. Titik fokus utama para penduduk kantin sedikit di tengah ruangan, di mana Mahaka yang menjadi sumber sebab keheningan.

Mahaka dengan mata tajamnya, dingin dan menusuk seperti pedang yang siap menghunus. Genggamannya kian menguat membuat wajah lelaki itu sedikit melepas ringisan.

"Kau ... Lepaskan! Siapa kau?!"

Seakan siksa kerasnya genggaman Mahaka tidak memberi iba untuk melepaskan.

"Mahaka, lepaskan."

Haka dengan berbaik hati memanggil kelembutan. Meski lepasan genggaman itu sedikit terhentak kasar. Pergelangan yang merah terpampang jelas di permukaan kulit lelaki itu.

Murid berpapan nama Weli meregangkan lengannya, bermaksud melepas rasa sakit yang menjelma walau hanya sedikit. Alisnya masih menyerit menatap Mahaka.

"Siapa kau?! Jangan ikut campur!"

Seperti netra Mahaka yang menjawab sahutan lelaki itu. Mahaka yakin, Weli merasa ciut sekadar ditatap dengan bibir terkatup.

Weli melepas dengkusan dengan senyum sinisnya. Kembali menampikkan wajah kesombongan yang mirip sebelumnya.

"Ah, kau siswi baru itu, kan? Sepupu dari pemimpin sekolah."

Mahaka masih diam sementara Weli melipat dua tangan di dada.

"Kau mungkin memang memiliki jabat tertinggi di sini. Tapi ketahuilah, ikut campur dengan urusan orang lain sama saja dengan kau membahayakan dirimu sendiri," ucap Weli.

Tampang Weli sedikit melunak, tapi maksudnya dengan tujuan lain.

"Mari buat kesepakatan. Aku tidak ingin memiliki urusan dengan anak kepala sekolah, apalagi kau perempuan. Lepaskan Haka dan kau menyingkirlah. Aku tidak ingin tarta lemah ikut campur dengan urusanku."

Meski ucapan Weli terdengar dengan menggunakan nada yang berteman, tapi tutur katanya tidak berhasil membuat Mahaka menurutinya. Terdengar seperti perintah yang tidak tahu apa-apa. Makanya, Mahaka tidak membalas reaksi apa pun dan tetap berdiri di depan Haka.

Weli berdesis. "Terserah kalau begitu! Aku sudah memperingati mu di awal."

Sebuah gerakan kepala yang bermaksud syarat membuat dua murid lainnya di belakang Weli bergerak maju ke depan. Hal ini yang semakin membuat Mahaka memasang badan dengan tegap menjadi tameng Haka.

Tak hanya itu, gerakan untuk anak buah ikut membuat Ren, Jaiden dan Norman ikut bereaksi. Ketiganya berdiri dari tempat yang seketika menjadi alih pandang bagi Weli.

Jaiden berdiri dengan mata sipitnya yang menusuk. "Kau yakin ingin membentak perempuan?"

Semua orang tahu apa maksud dari nada bicara Jaiden yang seperti itu. Meski Jaiden terkenal dengan sifat ramahnya kepada semua orang, menyebar senyum manis menghantar kehangatan, berbeda lagi jika tampang dingin dan nada rendahnya ketika keluar. Jika mereka sangat mengenal Jaiden, pilihan yang terbaik tentu tidak memberi sanggahan pada lelaki itu.

Gigi Weli menggertak ketidaksukaan. "Kalian sama saja! Tukang ikut campur!"

"Katakan itu pada dirimu sendiri yang membawa dua manusia bodoh di belakang sebagai tameng," ungkap Ren. "Kau sendiri juga membawa orang lain untuk ikut campur, kenapa kami tidak boleh?"

Rasa kesal itu kian membesar dengan tangan yang mengepal di samping badan. Tatapan Weli bertukar dengan Haka yang terlihat tidak tahu-menahu soal keadaan akan seperti ini.

Tapi senyum licik Weli menandakan kalau lelaki itu masih ingin berjuang untuk kemenangan.

"Benar. Orang lemah seperti Haka patut di jaga seperti kaca yang gampang pecah. Bukan begitu?"

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang