38 | Menyebrangi Waktu

35 13 1
                                    

Prang!

Semua yang ada dalam ruangan menundukkan kepala. Satu penyebab yang membuat mereka semua terlihat takut dan tidak berani menatap. Lelaki yang berdiri tepat di depan, berkacak pinggang dan berapa kali menghela napas kesal. Geraman dan suara dari gertukan giginya juga jelas terdengar. Hawa ruang gelap pun semakin menjadi gelap.

"Sudah kuduga. Hal ini tidak akan mudah," ucapnya.

Tubuhnya lantas berputar menghadap pada sekumpulan anak-anak bawahannya.

"Apa yang dia katakan?"

Satu dari mereka maju selangkah. Kepalanya terangkat pelan mencoba memanggil keberanian untuk menatap.

"Damai."

"Apa? Aku tidak mendengarnya?"

Bawahannya menelan ludah kasar. "D-Damai-" belum sempat ucapannya diselesaikan, lelaki itu sudah terhuyung ke samping menyentuh lantai.

"Jangan ucapkan kata menjijikan itu di depanku." Dirinya menghela napas. "Mereka benar-benar meremehkanku rupanya. Sampai Mr. J pun turun tangan."

Keheningan kembali melingkupi. Tidak ada yang berani membuka suara sebelum mendapat kesempatan untuk membuka mulut.

"Soal gadis itu, bagaimana? Kalian sudah mendapatkan informasi tentangnya?"

Bawahannya yang lainnya maju selangkah. Sebuah map hitam kemudian disodorkan tanpa sepatah kata. Sang pemimpin menerimanya dan langsung membuka. Dua alis yang menukik ke atas bersamaan, menunjukkan ekspresi cukup membuatnya terkejut dengan isi map yang didapatkan.

"Keluarga dari pemimpin sekolah megah itu, ya? Menarik."

Sebuah senyum licik tergambar di wajahnya.

"Kita lupakan soal kotak itu. Aku sudah tidak tertarik. Kali ini kita bermain dengan gadis menarik ini."

ooo

"Haka."

"Hm."

Yang memanggil tidak menuntaskan keinginannya memanggil. Justru mendudukkan dirinya tepat di samping Haka kemudian berbaring. Paha lelaki tan itu kini menjadi bantalnya. Menatap lurus ke wajah manis yang menjadi candu baginya. Maha sangat menyukai bentuk pahatan wajah Haka.

"Apa?" Haka bersuara.

"Aku menyukai-mu."

"Aku tahu."

"Tidak denganmu?"

Pandangan yang sedari tadi fokus memainkan ponsel itu jadi teralihkan menatap Maha di bawah. Ekspresinya bak anak anjing yang meminta untuk dimanjakan.

"Kau pun tahu."

Mendengar itu, ujung bibir Maha tertarik ke atas. Tidak terlalu lebar tapi sudah cukup membuat jantung Haka berdebar tidak karuan.

"Yang lain tidak ada."

"Lalu?"

"Kita bisa melakukannya."

"Jangan mengambil kesempatan. Kau pikir aku mau? Jangan lakukan di tempat yang bukan seharusnya. Lagi pula kau sudah melakukannya semalam. Masih belum puas?"

"Tidak bahkan hingga kita menikah."

Haka sedikit menahan napas begitu mendekat kata yang terakhir. Mulutnya terbuka ingin berucap tapi lidahnya kelu tertahan dan kepalanya pun bingung ingin melepas kata apa.

Maha kemudian terpejam. Memutar badannya menghadap perut Haka dan memeluknya. Sang empu masih diam, terlampau sedikit terkejut dengan panutan sang pasangan.

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang