"Setelah nilai x didapatkan, sekarang masukkan dalam rumus sederhana sebelumnya. Nilai x adalah 26 maka ...."
Mahaka sejatinya hanya memasang telinga tanpa fokus. Sudah termasuk hari ketiga di mana Haka menjadi orang yang pendiam. Hal itu juga berpengaruh pada Maha yang menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Norman, Jaiden dan Ren sendiri tidak ingin mengacung tangan untuk membantu meleraikan salah paham mereka.
Tidak, bagi Mahaka ucapan Dean bukanlah salah paham. Mahaka justru terkejut atas sindiran yang membuatnya merasa tertangkap basah. Itu membuatnya menjadi lebih was-was dan gugup dari hari ke hari. Kecemasan akan sosok asli dirinya yang bisa saja terbongkar tiba-tiba. Dan kecemasannya itu nampak jelas di depan Vouz selang beberapa hari ini.
"Mahaka, berapa nilai untuk z yang kau dapatkan?"
Mahaka seketika terperanjat. Aksi menghayalnya dengan otak yang berpikir keras menjadi buyar. Gestur kakunya yang seketika menatap cacatan nampak begitu jelas penuh kebingungan.
"Em ... s-sembilan belas ... ?" Mahaka jelas hanya mengarang.
"Benar, 19. Karena nilai z sudah ada, y dan x pun juga, maka kita komplitkan semuanya dalam awalan pertanyaan. Di mana ...."
Gadis itu menghela lega. Keberuntungan yang tidak terkira dengan jawaban asal nyatanya benar.
Matanya melirik Haka. Wajah datar dan tangan yang sibuk menggores tinta di atas kertas. Haka menjadi sangat fokus belajar semenjak pertengkaran diamnya dengan Maha.
Bel istirahat berbunyi. Jumlah kawanan murid mulai berpencar meninggalkan kelas seperti ikan tuna yang berkerumunan. Mahaka ingin berdiri dan menghampiri Haka namun kehadiran murid perempuan yang terlalu tiba-tiba membuatnya urung. Mahaka mendongak mendapati wajah kerut Lean dengan bersilang dada. Kali ini gadis itu sendirian lagi. Bukan, tepatnya entah sejak kapan akhir-akhir ini Lean jadi lebih sering berpisah dengan gadis-gadis kelompoknya.
Mahaka tidak bersuara. Masih setia membalas tatapan Lean dengan wajah kerutnya seperti seorang anak kecil yang merajuk.
"Ikut aku." Suaranya terlalu dipaksa untuk tegas dan Mahaka bisa lihat lebih jelas kalau Lean sejatinya nampak gugup.
"Untuk?"
Lipatan tangannya turun di samping badan. "Kau lupa dengan tugas kelompok dua orang? Kau tidak ingin mengerjakannya, ya?" Baru saja Mahaka ingin membuka mulut, gadis itu kembali berkicau. "Ck! Jangan berkepala besar karena aku memilihmu untuk kerja bersama. Aku hanya kasihan karena Haka tidak memilihmu. Kau seharusnya tahu diri, aku di sini membantumu untuk—"
"Ya," potong Mahaka seketika.
Lean berkedip. Wajahnya tiba-tiba merona yang membuat Mahaka menyeritkan keningnya.
"J-Jangan memotong ucapanku!"
Mahaka aslinya bingung dengan sikap perempuan di depannya ini. Dirinya lalu berdiri. "Aku akan ikut denganmu setelah urusanku dengan Haka selesai."
"Tapi—"
Mahaka tidak memberikan kesempatan bagi Lean untuk menyelesaikan kalimatnya. Menaruh tangannya di atas kepala gadis itu yang membuat rona merah itu makin menjadi hingga ke telinga. Mahaka berjalan miring melewati Lean seperti kepiting rebus untuk menghampiri Haka tapi lelaki itu nyatanya sudah hilang dari tempatnya.
Hela napas lolos dari bibir Mahaka. Haka kembali kabur seperti kemarin-kemarin. Bukan hanya Maha yang terlihat dihindari. Dirinya dan tiga teman yang lain pun juga sama.
"Oh, kau masih di sini rupanya."
Perhatian Mahaka berpaling pada Dean yang bersandar di tangkai pintu. Sesuai ucapannya, tiap hari lelaki itu terus menghampiri Mahaka tanpa sebab yang pasti. Lean pun menatap para murid itu. Berdiri di samping Mahaka dengan pandangan heran yang bergantian dengan Lean. Dean nampak tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue