Sorry for disappear again:)
.
.
.Semuanya menjadi terasa buruk. Mahaka tidak tenang setiap hari. Sebab murid laki-laki yang makin hari makin menunjukkan diri. Mahaka juga sudah jelas tahu, terlebih dari senyum dan bagaimana cara anak itu menatap. Dan hal itu makin memperburuk prasangkanya dengan kicauan yang terus membuatnya merasa tersinggung. Tidak, Mahaka yakin bukan hanya dirinya. Haka pun dibuat ikut arus dan makin memperkeruh aksi diam-mendiam dengan Maha.
Mahaka dibuat pusing.
Orang yang menjadi pertolongan pertamanya, tentu saja hanya Vouz seorang. Mahaka bahkan sudah tidak kaget lagi begitu menampikkan wajah gusarnya di depan lelaki itu. Vouz memberinya senyum dan anggukan yang menjadi wali seluruh kepekaannya.
"Aku tahu, Mahaka."
Dan Mahaka berhasil melepas satu helaan napas lega. Setidaknya mendapat penenangan walau tidak bertahan lama.
Kalau ingin meledak, sudah dari dulu Mahaka ingin. Menghabisi wajah Dean, perlu dengan tangannya sendiri. Hanya saja masalah waktu. Mahaka tidak bisa bergerak sembarangan terlebih soal waktu. Dan saat ini, keputusan yang dibuatnya adalah mengurusi Haka dan Maha dahulu. Dua anak lelaki yang sudah saling mendiami hampir dua minggu lamanya.
Mahaka stres, jelas. Mahaka sangat tahu tamperamen Papa-nya. Terlebih berada di masa yang membuat umurnya hampir setara. Sikap merajuk dari anak abg sebab salah paham ini cukup lumrah bagi Mahaka.
Dua kotak susu karamel. Mahaka tanpa berpikir dua kali membelinya dan langsung dihentak di atas meja. Menarik bangku pribadinya untuk lebih dekat dengan Haka yang sedang dalam mode 'jangan ganggu aku.' Ya, sejatinya Mahaka tidak peduli dengan mode apa pun yang dipasang lelaki itu.
Keheningan menyelimuti. Mahaka hanya duduk, ikut membiarkan suasana sunyi. Mendekam di dalam kelas berdua dengan Haka bukan hal yang buruk. Sudah tabiat selama beberapa hari ini. Alasannya adalah menghindari Maha yang ke mana-mana terus berwajah masam.
"Minum."
"Jangan ganggu aku, bodoh."
"Aku tidak."
Kepala Haka melirik. Sebelah alisnya menukik. Detik berikutnya berdecih sembarangan.
Mahaka tahu lelaki itu tidak akan bisa menahan nafsu dengan dua kotak minuman kesukaannya. Membuatnya tersenyum tipis begitu Haka mulai merambat satu kotak dan menusuknya dengan setengah ikhlas.
Mahaka menghela. "Sampai kapan?"
"Apanya?"
"Kau jelas tahu maksudku."
Haka diam sejenak. "Mana aku tahu? Harusnya aku yang bertanya seperti itu pada Maha. Si bedebah menyebalkan."
"Lantas kenapa tidak bertanya?"
"Malas."
"Kau gengsi."
"Untuk apa?!" Haka melirik dengan mata yang melotot. "Ck! Dengar ya, Mahaka. Harusnya kau melihat baik-baik siapa yang salah di sini. Maha membiarkanku dalam overthinking. Dia bahkan tidak peduli dan tidak mendatangiku untuk menjelaskannya."
"Itu karena kau lari."
"Aku tidak?!"
"Kau iya," tekan Mahaka.
Gadis itu menatap Haka yang beraut kesal. Kembali membuang muka pada ponselnya yang menunjukkan satu permainan. Menekan layar secara brutal dan berhasil membuatnya dalam kekalahan. Makin jelas emosinya bertambah.
"Kau yang butuh penjelasan, tapi kau yang menghindar," sindir Mahaka.
"Diam!" Mahaka bahkan tidak terperanjat saat Haka memukul mejanya. "Kau jangan ikut campur."
"Aku harus."
"Kenapa?"
"Karena aku kenal kalian."
Haka diam. Raut kesal itu berganti dengan keheranan. Alisnya berkedut.
Jari Mahak bergerak mengusap ujung bibir Haka. Sedikit cairan karamel sempat tertinggal di sana.
"Kau hanya perlu tidak memikirkannya terlalu jauh. Keturunan yang dimaksud lelaki sialan itu hanya sebuah pancingan."
Haka mengambil alih mengusap seluruh bibirnya. "Apa maksudmu?"
Kepala Mahaka sedikit jatuh ke kiri. Masih dengan wajah datar kesehariannya menatap Haka tidak mengerti.
"Aku ingin menjelaskannya padamu, tapi aku tahu kau tidak akan percaya soal ini."
"Berhenti berbelit-belit."
"Aku tidak berbelit-belit, Haka. Aku mengatakan faktanya. Bahkan jika aku berkata kalau ucapanku adalah asli, aku tidak yakin kau bisa percaya. Maksudku, saat ini belum. Tidak tahu ke depannya."
Haka meringsut. "Kau ini bicara apa? Ada salah makan pagi ini?"
Mahaka terkekeh. "Dengar, Haka. Satu hal yang perlu kau kuatkan. Percaya pada Maha. Tidak banyak yang tahu soal hubungan kalian, tapi bukan bersrti itu tidak ada."
Kelopak mata Haka turun beberapa kali dengan raut terkejut. Lelaki itu ingin bersuara namun tertahan oleh gelengan Mahaka.
"Tidak ada yang membocorkannya padaku. Aku tahu sendiri."
"T-Tapi ...."
Mahaka tersenyum tipis. "Aku akan mengatakan yang sebenarnya padamu di waktu yang tepat. Saat ini, aku masih punya banyak hal untuk menjadi urusan. Jadi tolong, sudahi aksi diam-mendiam kalian. Itu sama sekali tidak membantuku."
Gadis itu berdiri dari duduknya. Menggeser kursi dengan satu kaki kembali ke tempat awal.
"Aku akan bertemu Vouz. Kau tidak apa sendirian di sini?"
Haka tidak menjawab. Masih terdiam di bangkunya sembari menatap Mahaka dengan ekspresi yang sama.
"Baiklah. Diam aku anggap iya. Tapi, jika anak sialan itu datang ke sini, jangan hiraukan. Perlu lempari saja dengan kursi."
Mahaka berbalik pergi. Meninggalkan satu lambaian tangan sebagai perpisahan. Namun, belum mencapai pintu kelas Mahaka terhenti sebab panggilan dan suara decitan bangku dari Haka.
Mata lelaki itu terlihat tegar. Menatap lurus dan serius pada Mahaka.
"Kau ... Kau siapa sebenarnya?"
Diam itu berlangsung selama tiga detik sebelum seulas senyum terbit di wajah Mahaka.
"Bukankah kau hebat dalam mengenali wajah seseorang? Aku pergi."
Hilangnya Mahaka dari jendela kelas meninggalkan Haka sendirian dalam diam. Tangan lelaki itu terkepal di samping tubuhnya. Terlalu kuat hingga membuat kukunya memutih dan jari ikut bergetar.
***
Mr. J menggertak tulang-tulang jarinya. Menatap lurus ke bawah pada sebuah gambar anak sekolah berdiri di depan gerbang. Kepalanya sedikit panas. Sebab dari otak yang terus dipaksa bekerja untuk berpikir keras.
"Kau boleh pergi."
"Perintah hari ini?"
"Tidak ada."
"Baik, Tuan."
Hilangnya suruhan membuat Mr. J menyalakan satu batang nikotinnya. Asap yang dilepas dari hidung dan mulut, bersama helaan menjadi bukti bingungnya saat ini.
"Bagaimana bisa? Dunia ini sudah terlalu banyak candanya."
Dengkusannya lepas. Pandangannya belum teralihkan dari foto di atas meja.
"Saking mustahilnya, tapi bukti mustahil itu sudah tersaji di depan. Benar-benar lucu."
Batang nikotin yang terbakar itu baru habis setengah namun Mr. J sudah memadamkannya. Kembali menghembus napas kasar sebelum berlalu keluar dari ruangan. Kepalanya makin sesak melihat bukti kemustahilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHAKA [Markhyuck]✓
General FictionNamanya Mahaka. Gadis entah berantah datang dari mana yang ingin mengubah alur kehidupan orang tuanya. Ps. much naration than dialogue