44 | Di Kantin

51 13 0
                                    

Dan di sinilah Haka. Mendudukkan diri berhadapan dengan Maha walau wajahnya masih terpampang kusam. Ren di sebelah Maha hanya bisa mengunyah makanannya sembari menatap anak itu dengan malas. Berakhir merotasikan mata karena kejengahan.

Jaiden mendatangkan diri dengan sebuah makanan. Duduk di samping Noah yang berdampingan dengan Norman.

"Berhasil menurunkan gengsimu, Haka?" sindirnya.

Sedangkan korban tidak menjabani sama sekali. Masih menatap kusut Maha yang diam dengan makanannya sendiri. Dengkusannya bahkan lepas berapa kali dalam sebuah kode. Mengharap partner-nya mengangkat kepala dan membalas menatap. Namun, hal itu tak kunjung dia dapatkan.

"Percuma bertemu kalau kalian masih diam-diam begini," pukas Jaiden.

"Jangan heran. Satunya keras kepala, satunya tidak mau mengalah," tutur Ren sebelum kembali menyuap diri.

Norman melirik. "Di mana Mahaka? Dia tidak ikut bersamamu?"

"Dia ada urusan dengan Pak Vouz." Dari suara Haka masih terpampang jelas kalau anak itu masih dalam masa kekesalan.

Norman tidak bertanya lagi. Memilih diam dan mendelikkan bahu tidak peduli.

Sama seperti yang lain. Ren fokus makan dan Jaiden pun begitu. Maha juga tidak jauh beda. Hanya Haka yang bertahan menatap lelaki itu sembari melipat tangan di dada.

"Masih belum mau menjelaskannya?" Haka akhirnya membuka sahutan khusus.

"Apa yang harus dijelaskan?" balas Maha tanpa mengangkat kepala.

Dengkusan yang entah keberapa kalinya keluat. Lipatan tangan itu lepas. Memilih terkepal di atas meja dengan badan yang sedikit lebih condong ke depan.

"Kau ini egois sekali. Setelah berhari-hari kau hanya diam tidak peduli," ketus Haka.

"Kau yang lari."

"Aku tidak."

"Kau iya."

"Lalu bagaimana denganmu? Kau sama saja. Tidak melakukan apa pun terutama menjelaskan hal itu padaku."

"Karena aku tidak punya hal yang harus dijelaskan," tegas Maha dan akhirnya mengangkat kepala. "Kau saja yang tidak percaya padaku."

Kening Haka berkerut. Kepalan tangan di atas meja kian mengerat bersama dengan bibirnya yang membentuk ke bawah.

"Selesaikan di ruang pribadi, tolong. Di sini tidak hanya ada kita-kita," pukas Jaiden.

Haka membuang matanya bersama decihan halus. Ikut dengan Maha yang sama-sama menunjukkan raut sudah tidak peduli.

"Oh, lihat. Pasangan yang bertengkar itu akhirnya kembali duduk bersama."

Sahutan itu membuat seluruh kegiatan di kantin mereda. Beberapa murid menoleh dari arah pintu belakang kantin mewah. Lalu sebagiannya kembali melanjutkan.

"Sepertinya mereka saling membujuk untuk rujuk."

Sindiran itu membuat anak-anak yang berada di meja Haka membeku. Tidak ada yang bergerak satu pun. Bisikan anak-anak mulai terdengar penasaran dengan maksud pasangan yang diserukan.

"Anggap angin, Haka. Pura-puralah tidak peduli," bisik Norman.

Haka sudah melakukan. Seberusaha keras dirinya sedang mencoba. Begitu matanya tertangkap oleh Maha, Haka hanya bisa menelan ludahnya kasar.

Dean, lelaki yang baru saja berseru nyarinh memasuki kantin berjalan pelan melewati meja-meja makan. Sangat santai dan lurus satu tujuan.

Haka hendak berdiri namun tertahan dengan senggolan kaki Maha di bawah. Tatapan lelaki itu menunjukkan syarat untuk tidak bergerak atau pergi ke mana pun.

Hingga akhirnya Dean berdiri di samping meja tepat di mana Maha dan Haka duduk berhadapan. Lelaki itu memaparkan senyum menatap keduanya bergantian. Ren, Jaiden dan Norman mengadah dengan rahang mengeras.

"Jadi, apa kalian sudah berbaikan?"

Maha menggerakkan kepalanya mengadah pada Dean. "Apa?"

"Apa maksudmu dari apa? Tentu saja aku bertanya soal hubungan kalian." Senyuman itu terbit makin tidak mengenakan. "Hubungan menjijikan yang merusak norma. Bukan begitu, Haka?"

Lirikan Dean teralih ke Haka. Duduk menahan getar yang perlahan membuatnya berkeringat.

"Hu-Hubungan apa maksudmu? Kami tidak punya hubungan apa-apa kecuali sahabat. Iya kan, Maha?"

Haka mati-matian untuk membuat Maha ikut dalam alur. Namun, dari raut keras yang dia tunjukkan sudah sangat jelas memberinya penolakan.

"Oh, sahabat, ya? Tapi, sahabat tidak saling mencicipi rasa satu sama lain."

Decitan bangku lantas terdengar. Jaiden berdiri dengan wajah tegasnya. "Tutup mulut tukang ikut campumu."

Sebelah alis Dean terangkat. "Kenapa kau yang kesal? Oh? Apa mungkin, kau terkena penyakitnya juga? Penyakit yang membuatmu menyukai sesama jen-"

Belum sempat kalimat itu diselesaikan, satu kepalan tangan sudah mendarat dari bawah dagu Dean.

Maha berdiri sembari menatap tunduk pada Dean yang terduduk di lantai. Bibir atas lelaki itu berdarah sebab tidak sengaja tergigit. Membalas menatap Maha dengan senyum miring.

"Marah? Padahal yang aku katakan adalah fakta."

"Lantas? Apa urusanmu?"

Dean bediri. "Urusanku? Tentu saja karena kau membuatku malu. Penyimpanganmu itu. Apa kau benar-benar sudah tidak punya malu? Bagaimana bisa kau menjalin hubungan dengan Haka yang notabenenya se-gender denganmu?"

Haka menggigit bibir bawahnya meras panik. Bisikan itu kian jelas menjadi sahutan tidak percaya dari anak-anak.

"Biar kuperjelas apa kesalahanmu, Maha. Kau, karena penyimpanganmu. Tidak, bukan hanya kau, tapi Haka," katanya seraya melirik Haka. "Karen kalian, sekolah mewah ini harus kotor. Ternodai dengan cinta-cinta menjijikkan kalian. Mengotori norma yang sudah jelasnya, sesama jenis tidak bisa menjalin hubungan seperti yang seharusnya. Kalian melanggar aturan hidup, apa kalian tidak sadar?"

Ocehan itu kian memperburuk suasana. Anak-anak perlahan bangkit dan menjauh.

Namun, baik Maha maupun yang lainnya tidak bisa membuka suara. Rahasia yang disimpan dan dijaga serapat itu nyatanya bisa ketahuan.

Dean tersenyum. "Tidak bisa menyangkal, kan? Tentu saja. Karena yang kukatakan adalah hal yang sebenarnya. Lantas, apa alasan kalian hingga saling jatuh cinta dengan cara yang jorok seperti ini?"

Haka mengepal tangan kuat di atas pahanya lelaki itu beranjak dengan kepala yang tertunduk. Mengalihkan semua perhatian sebelum akhirnya berbalik hendak meninggalkan tempat.

"Aku ingat ayahmu, Haka." Ucapan itu berhasil membuat Haka terdiam. Dean memutar sedikit badannya pada Haka. "Ayahmu, orang hebat yang disegani banyak orang. Apa kau tahu alasan kenapa dia berakhir kehilangan nyawanya?"

Haka menoleh dengan cepat. Dean menampikkan senyum menakutkan.

"Alasannya sama dengan yang kau lakukan sekarang. Melanggar norma hingga berakhir ...."

Dean menempatkan tangannya di pertengahan leher. Bergerak pelan layaknya memotong tengah memotong lehernya sendiri.

Haka kian bergetar di tempatnya. Matanya melotot lebar menahan kesal. Terlebih pada ekspresi Dean yang sangat jelas mencemohnya. Rasa kesalnya sudah tidak terbendung lagi.

"Jangan pernah sebut ayahku dari mulut sialmu itu?!"

Menjadi sebuah awalan kantin mewah itu menjadi tidak berbentuk.

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang