39 | Peluk

40 15 0
                                    

Mahaka dan Vouz kembali ke ruang pribadi pemimpin sekolah megah. Tepat di waktu mereka mendarat, pintu ruangan terbuka. Seorang pria berumur lantas tampil bersama dengan seorang laki-laki berjas hitam. Lagaknya seperti seorang bodyguard yang menjulurkan tangan ke depan untuk memberi ruang perlisaan masuk.

"Oh, Tuan J. Anda sudah datang. Seperti biasa, selalu tepat tanpa cela satu detik," sapa Vouz.

Pria berumur itu hanya menganggukkan kepalanya singkat. Tatapannya lurus, rahangnya terlihat jelas dan tajam, rambutnya pun masih hitam legam dan proporsi tubuh yang tinggi sempurna.

Mahaka menatap diam di tempat. Layaknya seperti tidak dianggap, pandangannya jatuh dan tidak lepas pada sosok Tuan J yang disebutkan Vouz. Mahaka mengenalinya, bahkan masih sangat familier dengan pria tersebut.

"Mahaka, silakan kembali ke kelasmu," tegur Vouz.

Kali ini pandangan Mahaka teralih. Dia membalas Vouz dengan anggukan kepala sebelum bergerak jalan keluar dari ruangan. Masih menyempatkan untuk menatap Tuan J yang sudah duduk di sofa empuk Vouz. Dan tanpa sengaja, mata mereka bertemu pandang sebelum Mahaka memutuskannya lebih dulu dan menghilang.

Mahaka belum pergi. Dia masih berdiri di depan pintu ruangan Vouz seraya menatap lantai. Beruntungnya setiap meja guru memiliki kaca ruang pembatas. Hal itu membuat Mahaka tidak dapat terlihat dengan tingakahnya.

Tangan mengepal di samping badan, bergetar sebab terlalu kuat. Rahangnya juga mengeras. Isi kepalanya terlalu ribut. Masa-masa hitam kelam itu kembali hadir memenuhi kepalanya. Menicptakan keringat dingin akan trauma.

Mahaka lantas berlari keluar. Tergesa layaknya tengah kabur dari kejaran. Napasnya berderu dan pandangannya mulai kabur. Pikirannya berkecamuk. Panik melanda, takut, cemas, semuanya menyerbu Mahaka tanpa ampun. Dadanya naik turun sebab kesusahan mengambil oksigen.

Hingga tepat pada belokan perempatan, Mahaka terplentang jatuh di lantai dengan keras sebab menabrak seseorang.

"Mahaka?"

Gadis itu tidak menghiraukan. Seluruh emosi masih mengendalikannya. Membuatnya terlihat seperti orang linglung.

"Hei, Mahaka? Kau baik-baik saja?"

Orang itu berjongkok di depannya. Sayangnya, Mahaka tidak tahu siapa yang tengah berbicara saat ini. Pandangannya kabur. Makin kabur hingga semuanya menjadi gelap. Sebelum kepalanya menyentuh lantai ubin mahal, sepasang nama keluar dari mulutnya.

ooo

Kelopak matanya terbuka perlahan. Langit-langit berwarna putih menjadi sambutan pertama. Mahaka menerjap lalu menatap sekelilingnya. Kain tebal nampak menyelimuti setengah badannya. Sebuah handuk yang lembab akan air dingin juga terasa hinggap di keningnya.

"Kau sudah bangun?"

Sahutan itu membuat Mahaka berpusat pada sosok laki-laki yang datang dengan sebuah mampan. Mendudukkan dirinya di samping pembaringan dan menaruh mampan itu di atas meja nakas.

Hal yang pertama dilakukan adalah mengambil alih handuk lembab di kening Mahaka. Menaruhnya dalam sebuah wadah aluminium lalu beralih pada cangkir yang berisi teh hangat.

"Ayo, aku bantu bangun. Kau harus minum teh ini dulu."

Tanpa membuka mulut, Mahaka mendorong tubuhnya untuk bangkit. Tentu dibantu dengan uluran tangan yang menahan punggungnya. Hingga posisi Mahaka saat ini penuh bersandar pada kepala tempat tidurnya.

Teh hangat itu kemudian Mahaka minum hingga tangkas. Kehangatannya seketika menjalar melalui tenggorokan hingga ke perutnya. Mahaka merasa lebih baik.

Mata Mahaka kemudian berpaling. Tidak sengaja menangkap jam dinding yang tertera sedikit jauh di depan. Waktu yang menunjukkan kalau kelas Mahaka sudah berlangsung sejak dua puluh menit yang lalu.

MAHAKA [Markhyuck]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang