Kai masuk ke dalam ruang makan dan melihat ayahnya sudah duduk di kursi biasanya. Ia menaruh ransel dan duduk tepat di seberang ayahnya, dipisahkan meja makan panjang yang selalu hanya terisi mereka berdua. Pria itu menyapa, suaranya lembut. Ayahnya rapi, tampan dan wangi seperti biasanya. Seulas senyumnya agak lebih daripada biasanya.
"Papa kelihatannya lagi bahagia banget." Kai mengatakan itu, dan menimang apakah ia harus bertanya mengenai wanita dan seorang anak yang ia lihat kemarin.
Pria itu tersenyum lagi. Sebelah tangannya menggeser piring berisi beberapa roti tawar yang sudah dioleskan selai.
"Papa kemarin ke mana?" Kai akhirnya bertanya. Entah kenapa ia menjadi gelisah. Detak jantungnya tiba-tiba menggebu dan ia merasa cemas saat melihat pria itu membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya.
"Ke studio. Ada kerjaan." jawabannya sangat tenang. Kontras dengan Kai yang mati-matian menahan diri untuk tidak mengonfrontasi.
"Dari pagi?" Kai bertanya lagi lalu menggigit ujung rotinya.
Kai menatap ayahnya yang terdiam sebentar. Pria itu terlihat ragu hingga akhirnya mengangguk pelan.
Hati Kai mencelos. Ia menatap ayahnya yang masih sibuk mengunyah. Pria itu tidak tahu kalau ia baru saja menyakiti hati anaknya.
Perjalanan menuju kampus Kai agak berbeda hari ini. Kai tidak membuka mulut. Ia sibuk dengan otaknya yang sibuk berlarian dari pemikiran satu ke pemikiran lainnya. Otaknya terasa penuh. Kilasan wajah perempuan dan anak itu yang terus membayanginya sejak semalam.
Suara dari pemutar musik mengalun memenuhi mobil. Marco berdendang pelan mengikuti suara penyanyi.
"Kai, nanti Papa ada meeting sore, kalau lama nanti Papa minta Om Edo yang jemput kamu, ya." Marco mengatakan itu saat mobilnya baru saja berhenti di depan kedai kopi dekat gerbang kampus anaknya.
Kai menoleh dan menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. "Meeting apa?"
Kali ini giliran Marco yang menatap Kai dengan tatapan bingung, "Papa mau ada kerjasama sama sebuah majalah fashion." kata Marco.
"Yaudah, Kai tunggu di sini aja." Kai menuding kedai kopi di depannya.
"Tumben. Biasanya kamu senang kalau Papa nggak jemput." Marco memutar tubuh hingga bisa menatap anaknya lebih cermat.
"Pokoknya Kai mau Papa yang jemput." tandasnya. Ia mengambil sebelah tangan ayahnya untuk diciumnya dan keluar dari mobil.
"Kai, are you ok?" Marco mengatakan itu setelah membuka kaca jendela dan melihat Kai yang berdiri di samping mobilnya. Ia melihat ada yang aneh dengan putrinya hari ini.
Gadis itu menghela napas kasar dan mengangguk. Ia melambai pada ayahnya yang mulai menjalankan mobilnya hingga empat roda itu menghilang dari pandangannya.
Kai membalik badan lalu melihat sebuah senyum terulas padanya. Ia tidak tahu sejak kapan Fattah ada di sana. Duduk di salah satu kursi kosong yang disediakan kedai di area outdoor.
Kai mendekat lalu menjatuhkan bobotnya di seberang Fattah, dipisahkan oleh meja bundar. Di atas meja sudah ada dua cup kopi. Fattah menggeser satu cupnya ke arah Kai yang masih terdiam.
"Neraca lo nggak balance, ya?" Fattah bermaksud menghibur, tapi itu tidak cukup untuk membuat Kai tertawa.
Kai mengambil cup di depannya, menusukkan sedotan dan menyesapnya, "kok pahit, sih?" Kai hampir saja menyemburkan isi mulutnya. Ia menatap cup kopinya yang airnya berwarna hitam.
"Jangan kebanyakan makan dan minum manis." kata Fattah. Ia menatap Kai yang bahunya melemas. Punggung bersandar pada kursi.
"Lo udah nanya bokap lo?" Ia akhirnya bertanya. Ia berpikir gadis itu butuh didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words [TAMAT]
HumorKai, gadis tomboy dan cuek yang tiba-tiba jatuh cinta. Hal yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perlahan, gadis itu mulai mengubah penampilannya. Ia menjadi lebih rapi dan berusaha terlihat seperti seorang gadis pada umumnya. Ia pergi ke kedai k...